Isu - Isu Pendidikan
KATA PENGANTAR
Puji syukur
penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas kehendak-Nya makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu. Penulisan makalah a ini bertujuan untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Isu-Isu Pendidikan. Selain untuk memenuhi tugas Mata Kuliah, penulis berkeinginan memaparkan profil isu-isu
pendidikan diindonesia tahun 2008 - 2011.
Dalam
penyelesaian makalah ini, penulis
banyak mengalami kesulitan terutama disebabkan akan kurangnya pengetahuan.
Namun, berkat bimbingan dari berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat terselesaikan walaupun masih terdapat
kekurangan didalamnya. Karena itu, sepantasnya jika penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
- Allah SWT,
- Drs. H.Rohmat,M.Pd.,Ph.D selaku dosen pengampu mata kuliah Isu-isu pendikan Islam yang telah banyak memberi bimbingan dan masukan-masukan.
- Teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu-satu, terima kasih atas dukungan dan doanya.
Penulis
menyadari makalah ini masih
banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya
kritik dan saran yang positif agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan datang.
Surakarta, Desember 2011
A. RASIONAL
Pendidikan
adalah kata kunci untuk meningkatkan kesejahteraan dan martabat bangsa. Tak
salah jika kita sebut pendidikan sebagai pilar pokok dalam pembangunan bangsa.
Tinggi-rendah derajat suatu bangsa bisa dilihat dari mutu pendidikan yang
diterapkannya. Pendidikan yang tepat dan efektif akan melahirkan anak-anak
bangsa yang cerdas, bermoral, memiliki etos kerja dan inovasi yang tinggi.
Negara-negara yang telah berhasil mencapai kemajuan dan menguasai
teknologi-peradaban mengawali kesuksesannya dengan memberi perhatian yang besar
terhadap sektor pendidikan nasionalnya. Sektor pendidikan mendapat dukungan
penuh dan secara terus menerus sistemnya diperbaiki agar sesuai dengan kondisi,
kebutuhan, dan daya akses seluruh lapis masyarakat mereka. Harus kita akui,
pelaksanaan pendidikan di Indoensia masih jauh dari yang diharapankan. Begitu
juga dengan mutu yang dihasilkannya. Padahal, amanat Undang-Undang Dasar 1945 mematok
tujuan pendidikan nasional begitu tinggi: bisa mencerdaskan bangsa Indonesia.
Cerdas dalam artian mayoritas rakyat Indonesia memiliki budaya belajar dan
mengajar dalam aktivitas kesehariannya.
Pendidikan sebagai sarana membentuk karakter bangsa sudah
semestinya mampu menjadi ruang untuk
melahirkan intelektual yang nantinya bisa menopang keberlangsungan perjalanan bangsa yang bersandar
pada kesejahteraan rakyat, esensi pendidikan tersebut sepertinya telah jauh
dari harapan yang ada. Keberadaan institusi pendidikan yang ada saat ini malah menjadi institusi yang menghamba
pada modal dan kekuasaan, keberadaan
pendidikan tidak lebih sebagai ruang legitimasi akademik yang dijadikan alat pembenar dalam penerapan
kebijakan-kebijakan yang anti terhadap rakyat. Memahami praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog dan
tindakan-tindakan komunikatif yang
menghasilkan pencerahan. Habermas menempuh jalan konsensus dengan sasaran terciptanya demokrasi radikal yaitu
hubungan sosial dalam lingkup komunikasi
bebas penguasaan. Masalahnya, emansipasi lanjut Mulawarman (2006) tidak mempertautkan sesuatu yang ada dan hanya bersifat
material saja dengan komunikasi untuk
membentuk makna baru. Emansipasi yang dilakukan di sini adalah melakukan redefinisi makna terlebih dahulu untuk kemudian
dilakukan ekstensi makna baru dengan nilai-nilai etis, batin dan
spiritual. Emansipasi di sini dilakukan dengan langkah penyucian batin maupun spiritual.
Kajian sosiologi tentang pendidikan
pada prinsipnya mencakup semua jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun
pendidikan diluar sekolah. Masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan, utamanya pada
zaman pemerintahan Orde Baru, telah mengalami banyak perubahan. Sebagai masyarakat
majemuk, maka komunitas dengan ciri-ciri unik baik secara horizontal maupun
vertikal masih dapat ditemukan, demikian pula halnya dengan
sifat-sifat dasar dari zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya.
Permasalahan
pendidikan di Indonesia sangat komplek dan banyak sekali, sehingga perlu
pembahasan yang panjang dan berkelanjutan. Demikian pula isu-isu pendidikan
yang terjadi diindonesia antara lain yang berkaitan dengan ; konstitusi
pendidikan; korupsi; kurikulum; guru; ujian nasional; akses dan equity; keadaan
sekolah; kekerasan disekolah; mutu pendidikan; teknologi pendidikan; dana
pendidikan; dan reformasi pendidikan.
B. IDENTIFIKASI ISU
Setelah menelaah
isu-isu pendidikan yang berkembang pada periode 2008 sampai 2011, maka isu-isu
pendidikan antara lain : konstitusi pendidikan; korupsi dan pendidikan;
kurikulum pendidikan; guru; ujian nasional; akses dan equity; keadaan sekolah;
kekerasan disekolah; mutu pendidikan; teknologi pendidikan; dana pendidikan;
dan reformasi pendidikan.
C. ISU – ISU PENDIDIKAN
1.
Konstitusi pendidikan;
2.
Korupsi dan pendidikan;
3.
Kurikulum pendidikan;
4.
Guru dan pendidikan;
5.
Ujian Nasional;
6.
Akses dan equity pendidikan;
7.
Keadaan sekolah;
8.
Kekerasan disekolah;
9.
Mutu pendidikan;
10.
Teknologi pendidikan;
11.
Dana pendidikan;
12.
Reformasi pendidikan.
D. PENDEKATAN
Dalam
makalah ini penulis menggunakan pendekatan psikologi dan pendekatan pendidikan.
E. PEMBAHASAN
1.
Konstitusi Pendidikan
Pemerintah
dinilai masih gagal dalam upaya pemenuhan hak pendidikan bagi warga negara
sesuai tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 dan amanat dari
esensi UUD 1945.
Pasalnya, saat ini warga negara kelas menengah ke bawah harus menanggung beban berat dalam menikmati pendidikan dasar dan menengah, dan semakin sulit untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi (perguruan tinggi).Ketika sebelum memasuki abad ke-21, yakni tingginya harapan dan impian bagi anak-anak kelas menengah ke bawah untuk melanjutkan pendidikan tinggi, ataupun menikmati pendidikan dasar dan menengah tanpa beban berat.
Pasalnya, saat ini warga negara kelas menengah ke bawah harus menanggung beban berat dalam menikmati pendidikan dasar dan menengah, dan semakin sulit untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi (perguruan tinggi).Ketika sebelum memasuki abad ke-21, yakni tingginya harapan dan impian bagi anak-anak kelas menengah ke bawah untuk melanjutkan pendidikan tinggi, ataupun menikmati pendidikan dasar dan menengah tanpa beban berat.
Sementara
itu pendidikan kedinasan tidak sesuai dengan Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional. Fasli Jalal, Wakil Menteri Pendidikan Nasional, mengatakan,
pendidikan kedinasan di bawah instansi pemerintahan mesti menyesuaikan diri
dengan ketentuan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Ketentuan UU
Sisdiknas menyebutkan, pendidikan kedinasan yang diakui pemerintah adalah
pendidikan profesi, yaitu bentuk pendidikan tinggi setelah program sarjana. Ini
diatur dalam Pasal 29 UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Polemik Pendidikan Kedinasan ini pernah menyita perhatian Kementerian
Kesejahteraan Rakyat. Mantan Menko Kesra Aburizal Bakrie, melalui surat
tertanggal 12 September 2008, mengakui, UU Sisdiknas tidak sejalan dengan
praktik pendidikan kedinasan yang ada.
2.
Korupsi dan Pendidikan
Menurut
Hendrawan (2003), tiap orang dilahirkan sebagai murid. Orang tumbuh berbudaya
jika moral ditanamkan dan dipelihara. Kehidupan harus disikapi sebagai proyek
moral dan menurut Confusius, “yang ingin mengatur hidup bangsanya harus
mengatur hidup keluarganya. Yang ingin mengatur hidup keluarganya harus
mengatur hidup pribadinya membentuk hati yang benar, kehidupan pribadi yang
dibudayakan (memelihara hukum moral), dengan demikian kehidupan keluarga
menjadi teratur. Keluarga yang teratur membangun bangsa yang teratur”. Beragama
tidak selalu pararel dengan bermoral. Beriman belum tentu serta-merta mengenal
norma. Ada nilai dalam religiositas, ada norma dalam moralitas. Agama merupakan
sekolah iman dan di dalam asuhan keluarga yang teratur moral bisa naik kelas.
Anak yang tak memiliki standar kebenaran dan moral, yang tak diajar pintar
membedakan yang benar dari yang salah akan hidup di pinggiran moral.
Kondisi
itu dialami sebagian besar anak muda AS. Riset Barna (George Barna and The
Barna Research group, Ltd) mengungkap anak-anak di banyak belahan dunia kini
dibiarkan kehilangan sistem nilai. Di AS, generasi Baby Boomers angkatan Bill
Clinton (yang lahir 1946-1964) dan generasi Baby Busters, yang lahir setelah
1964 sama-sama mengadopsi budaya yang tak selalu mengetahui perbedaan antara
benar dan salah, antara manusia dan binatang, tak punya lensa moral tajam, tak
menyimpan pandangan kebenaran yang kuat. Selain kehilangan sistem nilai, ada
yang merosot dalam warisan nilai tradisional anak-anak setelah Bill Clinton.
Empat
faktor dianggap menjadi penyebabnya. Pertama, media massa membuat nilai
permisif barat secara mondial semakin menjadi sebahasa. Ketika media massa
membuat pergaulan lintas kultur menjadi begitu akrab, dunia semakin kecil, dan
imbas nilai rentan ditularkan dan diadopsi. Ketika anak lebih banyak belajar
nilai dari televisi (yang tak selalu realistis) ketimbang dari ayah-ibu,
hampanya sistem nilai tradisional di sekolah yang hanya mengajar dan kurang
mendidik, serta rumah yang cenderung menjadi “sarang kosong”, sebab orang tua
sibuk, menjadikan nilai dan norma yang tertanam dan tumbuh kepada anak menjadi
asing, absurd, dan boleh jadi teralienasi.
Penyebab
kedua, pergerakan urbanisasi menggeser nilai yang dipetik dari keluarga besar
(dengan hadirnya kakek, nenek, paman dan bibi) beralih ke nilai keluarga inti.
Anak dibesarkan pembantu dan kian terasing dari lingkungan tradisi dan
cenderung menjadi besar bukan sebagai murid. Ketika sekolah lupa melakukan
tugas pembudayaan, dan orang tua alpa, anak tumbuh tidak tahu aturan, tidak
tahu diri, liar, alih-alih beriman bermoral. Iman tak mungkin naik kelas kalau
Agama cuma mengajar, tetapi tidak mendidik.
Faktor
ketiga, manakala imbas dunia semakin materialisme (neo-materialism). Ketika kemakmuran
ekonomi dijadikan cita-cita anak dalam bersekolah, tuntutan generasi Baby
Boomers akan pekerjaan dengan bayaran tinggi melahirkan sikap menghargai
keuntungan materi di atas prioritas lainnya, termasuk meganggap bukan prioritas
membina hubungan erat dengan Tuhan (lahirnya Newagers, Free-thinkers). Ketika
visi sekolah lebih untuk tujuan ekonomi ketimbang moral, kian menyuburkan
budaya konsumerisme, manakala budaya “petik hari ini dan tenggaklah sampai
tandas”, tujuan menghalalkan cara (Marchiavelism) kian dilumrahkan,
kebenaran menjadi bias. Misal, dianggap lebih benar sikap berbuat tak halal
untuk yang halal, ketimbang berbuat halal tetapi dipakai untuk yang tidak
halal. Seakan dosa punya strata.
Faktor
penyebab keempat ada di sekolah. Ketika sekolah berubah menjadi “pabrik
pendidikan” (menurut Glenn & Nelson), pendidikan nilai diserahkan orang tua
kepada sekolah. Padahal, sekolah cenderung lebih mengajar ketimbang
mendidik. Tanpa nilai dan norma, buku iman dan kitab moral anak tetap saja
kosong (“tabula rasa”). Kesadaran moral anak tak tumbuh, pilihan dan pedoman
moral langka, alih-alih terasah lensa moral dan kacamata iman anak bila
kurikulum Agama cuma kognitif, bukan alih praktis, dan pendidikan budi pekerti
nyaris sirna. Orang bertanya apa lemahnya iman merupakan sebab utama sikap
permisif masyarakat dan kehidupan pribadi? Bagi yang percaya bahwa iman dan
moral itu dua kawasan berbeda akan menjawab bukan hilangnya rasa takut akan
Tuhan yang membuat orang tak tahu malu, tak mawas, atau menjadi tak tahu diri.
Orang dapat menemukan norma moral tanpa bantuan iman. Bukan sedikit orang ateis
yang moralnya luhur. Bangsa beragama bukan jaminan niscaya elok moralnya. Iman
bukan syarat psikologis buat moral. Bangsa kita agaknya tengah menisbikan
etika, mengabaikan nilai kejujuran (Do-er-mentality).
Di
tengah pluralisme moral, perlu ada jalan dari iman ketika Agama bisa
membuka pintu untuk kesediaan mengubah yang bukan nilai menjadi nilai pada diri
seseorang (divinely
human). Seyogyanya iman dan moralitas hampir selalu disebut
bersama agar menjadi nyata bahwa moralitas merupakan ungkapan iman religius
juga. Jadi, pendidikan moral sebuah anak bangsa itu sejatinya ada di dalam
keteladanan pemimpin bangsa yang kehidupan pribadinya teratur sehingga kehidupan
keluarga, masyarakat dan bangsanya teratur. Pendidikan moral juga hadir dalam
pendidikan agama yang bukan sekedar mengajar melainkan pintar pula dalam
praksis ajaran agama yang setiap tindakannya dibenarkan di mata manusia maupun
di penglihatan Tuhan
3.
Kurikulum Pendidikan
Kurikulum
merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan, dan sekaligus
digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses belajar mengajar pada
berbagai jenis dan tingkat sekolah. Kurikulum menjadi dasar dan cermin falsafah
pandangan hidup suatu bangsa, akan diarahkan kemana dan bagaimana bentuk
kehidupan bangsa ini di masa depan, semua itu ditentukan dan digambarkan dalam
suatu kurikulum pendidikan. Kurikulum haruslah dinamis dan terus berkembang
untuk menyesuaikan berbagai perkembangan yang terjadi pada masyarakat dunia dan
haruslah menetapkan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan.
Secara
etimologi, kurikulum (curriculum) berasal dari bahasa Yunani, yaitu
curir yang artinya "pelari" dan curere yang berarti "tempat berpacu".
Itu berarti istilah kurikulum berasal dari dunia olah raga pada zaman Yunani
Kuno di Yunani, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh
pelari dari garis start sampai finish, kemudian di gunakan oleh dunia
pendidikan.
Secara
terminologi, istilah kurikulum digunakan dalam dunia pendidikan, yaitu sejumlah
pengetahuan atau kemampuan yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa guna
mencapai tingkatan tertentu secara formal dan dapat dipertanggungjawabkan. Seiring
perkembangan jaman pengertian kurikulum juga terus mengalami pergeseran makna,
tugas mendidik yang harusnya diemban bersama-sama antara keluarga dan sekolah
menjadi tidak berimbang, hal ini menjadikan masyarakat lebih mempercayakan
masalah pendidikan anak kepada sekolah. Padahal waktu yang dimiliki anak lebih
banyak dilingkungan keluarga daripada disekolah. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang sedemikian pesat diikuti peledakan informasi dan peledakan
penduduk membuat beban sekolah semakin berat dan kompleks akhir-akhir ini. Hal
ini juga yang menyebabkan masyarakat lebih banyak menuntut ke sekolah berupa
nilai-nilai dan kemampuan anak yang harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat
dan dunia kerja.
Pengertian
kurikulum secara luas tidak hanya berupa mata pelajaran atau kegiatan-kegiatan
belajar siswa saja tetapi segala hal yang berpengaruh terhadap pembentukan
pribadi anak sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan. Sebenarnya banyak
pendapat dan pengertian kurikulum yang dikemukakan para ahli pendidikan pada
berbagai literatur, namun intinya sebagaimana diungkapkan diatas. Selain
pengertian kurikulum, ada beberapa istilah-istilah dalam kurikulum yang sering
kita dengar (terutama guru) dalam lingkungan kita sehari-hari, diantaranya:
a. Ideal
Curriculum
Ideal
Curriculum atau kurikulum ideal adalah kurikulum yang berisi sesuatu yang baik,
yang diharapkan atau dicita-citakan sebagaimana dimuat dalam buku kurikulum.
b. Real
Curriculum
Real
Curriculum, Actual Curriculum atau kurikulum aktual adalah apa yang terlaksana
dalam proses belajar mengajar atau yang menjadi kenyataan dalam kurikulum yang
direncanakan atau terprogram dalam pendidikan. Kurikulum Aktual sebaiknya sama
dengan kurikulum ideal, atau setidak-tidaknya mendekati kurikulum ideal
walaupun tidak mungkin atau tidak pernah sama dalam kenyataannya.
c. Hidden
Curriculum
Hidden
Curriculum atau kurikulum tersembunyi adalah kurikulum yang terjadi dari segala
sesuatu yang mempengaruhi ketika sedang mempelajari sesuatu. Pengaruh ini
mungkin dari pribadi guru, dari anak didik itu sendiri, dari karyawan sekolah,
atau hal-hal lain yang berada dilingkungan sekolah. Kurikulum tersembunyi
muncul ketika sedang berlangsungnya kurikulum ideal atau kurikulum aktual.
Kurikulum tersembunyi ini sangatlah kompleks, sulit diketahui dan dinilai.
Kurikulum
dan pengajaran adalah dua istilah yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Perbedaannya hanya terdapat pada tingkatannya. Kurikulum lebih menunjukan pada
suatu program yang bersifat umum, untuk jangka lama, dan tak tercapai dalam
waktu seketika. Sedangkan pengajaran bersifat realistis atau aktual, sifatnya
khusus dan tercapai pada saat itu juga. Atau secara sederhana dapat dikatakan
bahwa pengajaran adalah pelaksanaan dari suatu kurikulum secara bertahap dalam
proses belajar mengajar.
Perencanaan dan pengorganisasian
materi yang meliputi (1) struktur mata pelajaran di sekolah (2) materi esensial
mata perajaran (3) pokok bahasan esensial, tema utama, (4) Sub pokok bahasan
esensial, anak tema utama dilakukan evaluasi melalui (1)ujian
akhir sekolah, uji kompetensi lulusan, (2)ujian sumatif mata pelajaran, ujian kompetensi
mata pelajaran yang digambarkan oleh penguasaan beberapa standar kompetensi
yang ditetapkan, (3)ujian formatif, uji stansar kompetensi yang digambarkan
oleh penguasaan beberapa kompetensi dasar yang ditetapkan, (4)evaluasi ahir
kegiatan belajar, digambarkan oleh pencapaian beberapa indikator belajar.
Sedangkan
hasil perencanaan dan pengorgnisasi kurikulum telah dibahas tentang (1)Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), silabus,
rencana pembelajaran dan adminisrasi
guru (2) sarana pembelajaran siswa, yaitu modul pembelajaran siswa (software) media dan alat bahan pembelajaran siswa
(hardware) (3)standar test. Untuk memberikan
gambaran yang terintergrasi dalam kurikulumberbasis kompetensi dengan guru sebagai ujung tombaknya ditopang oleh Kepala
sekolah sehingga guru mampu membuat
silabus.
4.
Guru dan Pendidikan
Guru
sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak
yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan
kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas
maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa siswanya kepada tujuan
yang hendak dicapai. Ada beberapa hal yang dapat membentuk kewibawaan guru antara
lain adalah penguasaan materi yang diajarkan, metode mengajar yang sesuai
dengan situasi dan kondisi siswa, hubungan antar individu, baik dengan siswa
maupun antar sesama guru dan unsur lain yang terlibat dalam proses pendidikan
seperti adminstrator, misalnya kepala sekolah dan tata usaha serta masyarakat
sekitarnya, pengalaman dan keterampilan guru itu sendiri.
Dengan
demikian, maka dalam pembaharuan pendidikan, keterlibatan guru mulai dari
perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya
memainkan peran yang sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan.
Tanpa melibatkan mereka, maka sangat mungkin mereka akan menolak inovasi yang
diperkenalkan kepada mereka. Hal ini seperti diuraikan sebelumnya, karena
mereka menganggap inovasi yang tidak melibatkan mereka adalah bukan miliknya
yang harus dilaksanakan, tetapi sebaliknya mereka menganggap akan mengganggu
ketenangan dan kelancaran tugas mereka. Oleh karena itu, dalam suatu inovasi
pendidikan, gurulah yang utama dan pertama terlibat karena guru mempunyai peran
yang luas sebagai pendidik, sebagai orang tua, sebagai teman, sebagai dokter,
sebagi motivator dan lain sebagainya.
Daoed Yoesoef (1980)
menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas
profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (sivic mission).
Jika dikaitkan pembahasan tentang kebudayaan, maka tugas pertama berkaitan
dengar logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika.
Tugas-tugas profesional
dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan,
keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan
seharusnya diketahui oleh anak. Tugas manusiawi adalah tugas-tugas membantu
anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan
sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusiawi itu adalah transformasi diri,
identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri. Tugas kemasyarakatan
merupakan konsekuensi guru sebagai warga negara yang baik, turut mengemban dan
melaksanakan apa-apa yang telah digariskan oleh bangsa dan negara lewat UUD
1945 dan Pancasila.
Ketiga tugas guru itu
harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis dan
dinamis. Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi seorang
guru harus mampu menjadi katalisator, motivator dan dinamisator pembangunan
tempat di mana ia bertempat tinggal. Ketiga tugas ini jika dipandang dari segi
anak didik maka guru harus memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa
lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang, pilihan nilai hidup dan
praktek-praktek komunikasi. Pengetahuan yang kita berikan kepada anak didik
harus mampu membuat anak didik itu pada akhimya mampu memilih nilai-nilai hidup
yang semakin komplek dan harus mampu membuat anak didik berkomunikasi dengan
sesamanya di dalam masyarakat, oleh karena anak didik ini tidak akan hidup
mengasingkan diri. Kita mengetahui cara manusia berkomunikasi dengan orang lain
tidak hanya melalui bahasa tetapi dapat juga melalui gerak, berupa tari-tarian,
melalui suara (lagu, nyanyian), dapat melalui warna dan garis-garis
(lukisan-lukisan), melalui bentuk berupa ukiran, atau melalui simbul-simbul dan
tanda tanda yang biasanya disebut rumus-rumus.
Jadi nilai-nilai
yang diteruskan oleh guru atau tenaga kependidikan dalam rangka melaksanakan
tugasnya, tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan, apabila
diutarakan sekaligus merupakan pengetahuan, pilihan hidup dan praktek
komunikasi. Jadi walaupun pengutaraannya berbeda namanya, oleh karena dipandang
dari sudut guru dan dan sudut siswa, namun yang diberikan itu adalah nilai yang
sama, maka pendidikan tenaga kependidikan pada umumnya dan guru pada khususnya
sebagai pembinaan prajabatan, bertitik berat sekaligus dan sama beratnya pada
tiga hal, yaitu melatih mahasiswa, calon guru atau calon tenaga kependidikan
untuk mampu menjadi guru atau tenaga kependidikan yang baik, khususnya dalam
hal ini untuk mampu bagi yang bersangkutan untuk melaksanakan tugas
profesional.
Untuk menyiapkan guru
yang juga manusia berbudaya ini tergantung 3 elemen pokok yaitu :
1. Orang yang disiapkan
menjadi guru ini melalui prajabatan (initial training) harus mampu
menguasai satu atau beberapa disiplin ilmu yang akan diajarkannya di sekolah
melalui jalur pendidikan, paling tidak pendidikan formal. Tidak mungkin
seseorang dapat dianggap sebagai guru atau tenaga kependidikan yang baik di
satu bidang pengetahuan kalau dia tidak menguasai pengetahuan itu dengan baik.
Ini bukan berarti bahwa seseorang yang menguasai ilmu pengetahuan dengan baik
dapat menjadi guru yang baik, oleh karena biar bagaimanapun mengajar adalah
seni. Tetapi sebaliknya biar bagaimanapun mahirnya orang menguasai seni
mengajar (art of teaching), selama ia tidak punya sesuatu yang akan
diajarkannya tentu ia tidak akan pantas dianggap menjadi guru.
2. Guru tidak hanya harus
menguasai satu atau beberapa disiplin keilmuan yang harus dapat diajarkannya,
ia harus juga mendapat pendidikan kebudayaan yang mendasar untuk aspek
manusiawinya. Jadi di samping membiasakan mereka untuk mampu menguasai
pengetahuan yang dalam, juga membantu mereka untuk dapat menguasai satu dasar
kebudayaan yang kuat. Jadi bagi guru-guru juga perlu diberikan dasar pendidikan
umum.
3. Pendidikan terhadap
guru atau tenaga kependidikan dalam dirinya seharusnya merupakan satu pengantar
intelektual dan praktis kearah karir pendidikan yang dalam dirinya (secara
ideal kita harus mampu melaksanakannya) meliputi pemagangan. Mengapa perlu
pemagangan, karena mengajar seperti juga pekerjaan dokter adalah seni. Sehingga
ada istilah yang populer di dalam masyarakat tentang dokter yang bertangan
dingin dan dokter yang bertangan panas, padahal ilmu yang diberikan sama. Oleh
karena mengajar dan pekerjaan dokter merupakan art (kiat), maka
diperlukan pemagangan. Karena art tidak dapat diajarkan adalah teknik
mengajar, teknik untuk kedokteran. Segala sesuatu yang kita anggap kiat, begitu
dapat diajarkan diakalau menjadi teknik. Akan tetapi kalau kiat ini tidak dapat
diajarkan bukan berarti tidak dapat dipelajari. Untuk ini orang harus aktif
mempelajarinya dan mempelajari kiat ini harus melalui pemagangan dengan jalan
memperhatikan orang itu berhasil dan mengapa orang lain tidak berhasil, mengapa
yang satu lebih berhasil, mengapa yang lain kurang berhasil.
WF Connell (1972)
membedakan tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2)
model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator
terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan
terhadap lembaga.
Peran guru sebagai
pendidik (nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan dengan tugas-tugas
memberi bantuan dan dorongan (supporter), tugas-tugas pengawasan dan pembinaan
(supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar
anak itu menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam
keluarga dan masyarakat. Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih
lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang
dewasa yang lain, moralitas tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan dan
keterampilan dasar, persiapan.untuk perkawinan dan hidup berkeluarga, pemilihan
jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal dan spiritual. Oleh karena itu
tugas guru dapat disebut pendidik dan pemeliharaan anak. Guru sebagai
penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak
agar tingkat laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.
Peran guru sebagai
model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi
contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang
tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut
oleh masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai nilai dasar negara dan bangsa
Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi
oleh nilai-nilai Pancasila.
Peranan guru sebagai
pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru harus memberikan
pengetahuan, keterampilan dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah seperti
persiapan perkawinan dan kehidupan keluarga, hasil belajar yang berupa tingkah
laku pribadi dan spiritual dan memilih pekerjaan di masyarakat, hasil belajar
yang berkaitan dengan tanggurfg jawab sosial tingkah laku sosial anak.
Kurikulum harus berisi hal-hal tersebut di atas sehingga anak memiliki pribadi
yang sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh bangsa dan negaranya,
mempunyai pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup dalam masyarakat dan
pengetahuan untuk mengembangkan kemampuannya lebih lanjut.
Peran guru sebagai
pelajar (leamer). Seorang guru dituntut untuk selalu menambah
pengetahuan dan keterampilan agar supaya pengetahuan dan keterampilan yang
dirnilikinya tidak ketinggalan jaman. Pengetahuan dan keterampilan yang
dikuasai tidak hanya terbatas pada pengetahuan yang berkaitan dengan
pengembangan tugas profesional, tetapi juga tugas kemasyarakatan maupun tugas
kemanusiaan.
Peran guru sebagai
setiawan dalam lembaga pendidikan. Seorang guru diharapkan dapat membantu
kawannya yang memerlukan bantuan dalam mengembangkan kemampuannya. Bantuan
dapat secara langsung melalui pertemuan-pertemuan resmi maupun pertemuan
insidental.
Peranan guru sebagai
komunikator pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat berperan
aktif dalam pembangunan di segala bidang yang sedang dilakukan. Ia dapat
mengembangkan kemampuannya pada bidang-bidang dikuasainya.
Guru sebagai
administrator. Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi
juga sebagai administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh karena
itu seorang guru dituntut bekerja secara administrasi teratur. Segala
pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar mengajar perlu diadministrasikan
secara baik. Sebab administrasi yang dikerjakan seperti membuat rencana
mengajar, mencatat hasil belajar dan sebagainya merupakan dokumen yang berharga
bahwa ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik.
5.
Ujian Nasional
Ujian Nasional
merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggarakan pemerintah guna
mengukur keberhasilan belajar siswa. Dalam beberapa tahun ini, kehadirannya
menjadi perdebatan dan kontroversi di masyarakat. Di satu pihak ada yang
setuju, karena dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya ujian
nasional, sekolah dan guru akan dipacu untuk dapat memberikan pelayanan
sebaik-baiknya agar para siswa dapat mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian
yang sebaik-baiknya. Demikian juga siswa didorong untuk belajar secara
sungguh-sungguh agar dia bisa lulus dengan hasil yang sebaik-baiknya.Sementara,
di pihak lain juga tidak sedikit yang merasa tidak setuju karena menganggap
bahwa Ujian Nasional sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif dan kontraproduktif
dengan semangat reformasi pembelajaran yang sedang kita kembangkan. Sebagaimana
dimaklumi, bahwa saat ini ada kecenderungan untuk menggeser paradigma model
pembelajaran kita dari pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian
kemampuan kognitif ke arah pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian
kemampuan afektif dan psikomotor, melalui strategi dan pendekatan pembelajaran
yang jauh lebih menyenangkan dan kontekstual, dengan berangkat dari teori
belajar konstruktivisme.
Kita maklumi pula bahwa
Ujian Nasional yang dikembangkan saat ini dilaksanakan melalui tes tertulis.
Soal-soal yang dikembangkan cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif. Hal
ini akan berdampak terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan di sekolah.
Sangat mungkin, para guru akan terjebak lagi pada model-model pembelajaran gaya
lama yang lebih menekankan usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif siswa,
melalui gaya pembelajaran tekstual dan behavioristik.
Selain itu, Ujian
Nasional sering dimanfaatkan untuk kepentingan diluar pendidikan, seperti
kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan
ekonomi bagi segelintir orang. Oleh karena itu, tidak heran dalam
pelaksanaannya banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan, seperti kasus kebocoran
soal, nyontek yang sistemik dan disengaja, merekayasa hasil pekerjaan siswa dan
bentuk-bentuk kecurangan lainnya.
Terlepas dari
kontroversi yang ada bahwa sampai saat ini belum ada pola baku sistem ujian
akhir untuk siswa. Perubahan sering terjadi seiring dengan pergantian pejabat.
Hampir setiap pejabat ganti, kebijakan sistem juga ikut berganti rupa.
Periode 1950-1960-an
Ujian akhir disebut Ujian Penghabisan. Ujian
Penghabisan diadakan secara nasional dan seluruh soal dibuat Departemen
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Seluruh soal dalam bentuk esai. Hasil
ujian tidak diperiksa di sekolah tempat ujian, tetapi di pusat rayon.
Periode 1965-1971
Semua mata pelajaran diujikan dalam hajat yang disebut
ujian negara. Bahan ujian dibuat oleh pemerintah pusat dan berlaku untuk
seluruh wilayah di Indonesia. Pemerintah pusat pula yang menentukan waktu
ujian.
Periode 1972-1979
Pemerintah memberi kebebasan setiap sekolah atau
sekelompok sekolah menyelenggarakan ujian sendiri. Pembuatan soal dan proses
penilaian dilakukan masing-masing sekolah atau kelompok. Pemerintah hanya
menyusun pedoman dan panduan yang bersifat umum.
1980-2000
·
Mulai diselenggarakan
ujian akhir nasional yang disebut Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional
(Ebtanas). Model ujian akhir ini menggunakan dua bentuk: Ebtanas untuk mata
pelajaran pokok, sedangkan EBTA untuk mata pelajaran non-Ebtanas.
·
Ebtanas dikoordinasi
pemerintah pusat dan EBTA dikoordinasi pemerintah provinsi.
·
Kelulusan ditentukan
oleh kombinasi dua evaluasi tadi ditambah nilai ujian harian yang tertera di
buku rapor.
2001-sekarang
·
Ebtanas diganti dengan
penilaian hasil belajar secara nasional dan berubah menjadi Ujian Akhir
Nasional (UAN) sejak 2002.
·
Kelulusan dalam UAN
2002 ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual.
·
Dalam UAN 2003 siswa
dinyatakan lulus jika memiliki nilai minimal 3,01 pada setiap mata pelajaran
dan nilai rata-ratanya minimal 6.
·
Dalam UAN 2004
kelulusan siswa didapat berdasarkan nilai minimal pada setiap mata pelajaran
4,01. Syarat nilai rata-rata minimal tidak diberlakukan lagi.
Pelaksanaan
UN mendapat berbagai kecaman dari berbagai pihak, terutama dari komunitas
pendidikan di Tanah Air. Apa UN relevan menjadi senjata peningkat mutu dan
membentuk standardisasi pendidikan nasional? Kalangan pendidikan pun melah
menganggap bahwa UN justru
tidak sesuai dengan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) dan berbagai program pemerintah lainnya. Kalangan aktivis
pendidikan dari Koalisi Pendidikan pun berpendapat serupa.
"Penambahan mata pelajaran yang di-UN-kan semakin mencerminkan betapa pemerintah
semakin besar kuasanya dalam menentukan kelulusan," ujarnya. Dia
berpandangan, terjadi kekeliruan berpikir. Pemerintah berkeinginan keras untuk
menerapkan UN dengan harapan dapat mengangkat kualitas pendidikan di Tanah Air.
Peningkatan kualitas dianggap cukup lewat tes. Padahal, kualitas hanya dapat
diperoleh lewat proses. Pemerintah justru harus melihat faktor-faktor penentu
berjalannya proses dan sejauh mana itu sudah terpenuhi di sekolah.
Penerapan
standard tunggal evaluasi hasil belajar dalam bentuk ujian nasional saat ini
tampaknya masih sulit diterapkan di Indonesia. Sulitnya penerapan standar
tunggal hasil belajar itu berkaitan erat dengan masih tingginya tingkat
disparitas kualitas antarsekolah di Indonesia. ”Mengacu pada PP No 28/1990 tentang
Pendidikan Dasar, penilaian pendidikan tidak hanya dilakukan dengan
mengevaluasi hasil belajar, tetapi juga mencakup proses belajar-mengajar dan
upaya pencapaian tujuan yang dilakukan. Kalau sekarang proses
belajar-mengajarnya saja masih sangat berbeda satu sama lain kualitasnya, hasilnya
tentu juga akan sangat berbeda.
Arena pendidikan dari wilayah yang berbeda (desa-kota, misalnya) pun menyebabkan perbedaan kualitas pendidikan.
Arena pendidikan dari wilayah yang berbeda (desa-kota, misalnya) pun menyebabkan perbedaan kualitas pendidikan.
Perbedaan
sarana pendidikan di lain wilayah pun diungkapkan Ketua MPR-RI, Hidayat Nurwahid, menjadi salah satu sebab tidak tepat
menjadikan ujian nasional standar kelulusan siswa. Menurutnya, hal tersebut
menyebabkan dunia pendidikan menjadi pasif dan apatis. Sebab, banyak sekolah menginginkan
siswanya lulus dan menempuh cara-cara curang untuk menggapainya. Tidak aneh
pula, harapan mendulang anak-anak didik lulus pun dilakukan dengan berbagai
cara. Termasuk dengan melakuan kecurangan.
6.
Akses dan Equity Pendidikan
Era
global ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan industri, kompetisi dalam
semua aspek kehidupan ekonomi, serta perubahan kebutuhan yang cepat didorong
oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Untuk memenuhi perkembangan ilmu dan
teknologi, diperlukan SDM yang berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan di
Indonesia perlu ditingkatkan hingga ke pelosok negeri dan bagi masyarakat
menengah ke bawah. Mereka yang paling memerlukan layanan pendidikan dalam
mengantisipasi persaingan global di samping penyandang buta huruf adalah
masyarakat miskin di tempat-tempat yang jauh dan tersebar. Guna mengatasi hal
yang tidak mungkin diselenggarakan pendidikan konvensional atau tatap muka ini
perlu ditempuh strategi yang memanfaatkan potensi dan kemajuan teknologi baru.
Untuk
itu, agenda penting yang harus menjadi prioritas adalah peningkatan pemerataan
pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang berjumlah sekitar
38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk Indonesia (berdasarkan data
Badan Pusat Statistik : 2007). Problem mereka, kemiskinan menjadi hambatan
utama dalam mendapatkan akses pendidikan. Selain itu, daerah-daerah di luar
Jawa yang masih tertinggal juga harus mendapat perhatian guna mencegah
munculnya kecemburuan sosial. Pemerataan pendidikan masyarakat miskin dan
terpencil di Indonesia, dapat dibagi menjadi pemerataan pendidikan formal dan
pemerataan pendidikan non formal.
a.
Pemerataan Pendidikan Formal
Pada
jenjang pendidikan formal, secara umum perluasan akses dan peningkatan
pemerataan pendidikan masih menjadi masalah utama, terutama bagi masyarakat
miskin maupun masyarakat di daerah terpencil. Pemerataan pendidikan formal
terdiri dari pemertaaan pendidikan di tingkat prasekolah, sekolah dasar,
menengah, perguruan tinggi.
Pendidikan prasekolah merupakan pendidikan pada anak usia dini, semisal : playgroup dan taman kanak-kanak. Pada daerah perkotaan pendidikan prasekolah secara formal sudah sering ditemukan, tetapi untuk daerah terpencil seperti di pedesaan, masih sangat jarang. Pendidikan sekolah dasar memang sudah cukup dirasakan pemerataannya di berbagai daerah, hal ini sejalan dengan program wajib belajar 9 tahun, tetapi mutu dari pendidikan tersebut masih sangat berbeda antara daerah perkotaan dengan pedesaan.
Pendidikan prasekolah merupakan pendidikan pada anak usia dini, semisal : playgroup dan taman kanak-kanak. Pada daerah perkotaan pendidikan prasekolah secara formal sudah sering ditemukan, tetapi untuk daerah terpencil seperti di pedesaan, masih sangat jarang. Pendidikan sekolah dasar memang sudah cukup dirasakan pemerataannya di berbagai daerah, hal ini sejalan dengan program wajib belajar 9 tahun, tetapi mutu dari pendidikan tersebut masih sangat berbeda antara daerah perkotaan dengan pedesaan.
Pada
pendidikan menengah, saat ini banyak bermunculan sekolah-sekolah unggul. Dalam
pelaksanaannya model sekolah ini hanya diperuntukkan untuk kalangan borjuis,
elit, dan berduit yang ingin mempertahankan eksistensinya sebagai kalangan
atas. Kalaupun ada peserta didik yang masuk ke sekolah dengan sistem subsidi
silang itu hanya akal-akalan saja dari pihak sekolah untuk menghindari “image”
di masyarakat sebagai sekolah mahal dan berkualitas, sekolah plus,
sekolah unggulan, sekolah alam, sekolah terpadu, sekolah eksperimen
(laboratorium), sekolah full day, dan label-label lain yang melekat pada
sekolah yang diasumsikan dengan “unggul”.
Untuk
pendidikan tinggi persoalannya menyangkut pemerataan kesempatan dalam
memperoleh pendidikan tinggi bagi warga negara dalam kelompok usia 19-24 tahun.
Biaya yang diperlukan untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi memang
sangat besar, sehingga hanya anak-anak yang berasal dari keluarga mampu saja
yang memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Kebutuhan biaya baik
langsung maupun tak langsung yang cukup besar inilah yang menyebabkan rendahnya
partisipasi pendidikan pada jenjang perguruan tinggi.
Selain
itu, penyebaran geografis lembaga pendidikan tinggi unggulan di Indonesia juga
tidak merata. Berbagai universitas terkemuka dipusatkan berada di pulau Jawa,
sehingga masyarakat yang berada di pulau lain harus meninggalkan kampung
halamannya demi melanjutkan pendidikan tinggi. Kritik kini mulai bermunculan
atas pelaksanaan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) bagi beberapa universitas dan
institut, seperti: UI, UGM, USU, UPI, ITB, dan IPB. BHMN dinilai telah mengarah
ke komersialisasi pendidikan, yang bertentangan dengan misi utama sebuah
lembaga pendidikan tinggi.
Untuk
bisa kuliah di universitas dan institut terpandang itu, orangtua mahasiswa
harus mengeluarkan uang puluhan juta rupiah. Ada beberapa argument yang
menyebabkan muncul gerakan protes atas gejala komersialisasi pendidikan tinggi.
Pertama, pendidikan tinggi yang selama ini bersifat elitis akan semakin
bertambah elitis. Perguruan tinggi bertarif mahal akan makin mengentalkan watak
elitisme dan kian mereduksi jiwa egalitarianisme. Gejala ini jelas bertentangan
dengan prinsip pemerataan pendidikan seperti diamanatkan di dalam UU Sistem
Pendidikan Nasional.
Prinsip
dasar pemerataan ini sangat penting guna memberikan kesempatan bagi semua
golongan masyarakat, untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang baik. Kedua,
ada alasan ideologis di balik gerakan protes itu. Selama ini, yang bisa
menikmati pendidikan tinggi adalah orang-orang yang berasal dari keluarga kelas
menengah. Bagi orang-orang yang berasal dari kelas bawah (keluarga miskin)
mengalami kesulitan mendapatkan akses pendidikan tinggi dengan biaya yang mahal
itu (Eka, R. 2007. Kondisi Pemerataan Pendidikan di Indonesia,
(http://edu-articles.com, diakses 9 Maret 2009)).
b. Pemerataan
Pendidikan Nonformal
Di
samping menghadapi permasalahan dalam meningkatkan akses dan pemerataan
pendidikan di jalur formal, pembangunan pendidikan juga menghadapi permasalahan
dalam peningkatan akses dan pemerataan pendidikan non formal. Pada jalur
pendidikan non formal juga menghadapi permasalahan dalam hal perluasan dan
pemerataan akses pendidikan bagi setiap warga masyarakat.
Sampai
dengan tahun 2006, pendidikan non formal yang berfungsi baik sebagai transisi
dari dunia sekolah ke dunia kerja (transition from school to work) maupun
sebagai bentuk pendidikan sepanjang hayat belum dapat diakses secara luas oleh
masyarakat. Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat khususnya yang berusia dewasa
untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya masih sangat
rendah. Apalagi pendidikan non formal, pada umumnya membutuhkan biaya yang
cukup mahal sehingga tidak dapat terangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.
Untuk
meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan berbagai langkah akan diambil
seperti peningkatan jumlah anak yang ikut merasakan pendidikan, akses terhadap
pendidikan ini dihitung berdasarkan angka partisipasi mulai tingkat Sekolah
Dasar hingga Sekolah Menengah Umum. Selain itu pemerintah akan mengurangi
tingkat disparitas atau ketidakmerataan akses baik spasial kota non kota dan
yang bersifat gender. Dalam sektor pendidikan, kewajiban belajar tingkat dasar
perlu diperluas dari 6 ke 9 tahun, yaitu dengan tambahan 3 tahun pendidikan
setingkat SLTP seperti dimandatkan oleh Peraturan Pemerintah 2 Mei 1994.
Hal ini
segaris dengan semangat “Pendidikan untuk Semua” yang dideklarasikan di
konferensi Jomtien di Muangthai tahun 1990 dan Deklarasi Hak-Hak Azasi Manusia
Sedunia Artikel 29 yang berbunyi: “Tujuan pendidikan yang benar bukanlah
mempertahankan ‘sistem’ tetapi memperkaya kehidupan manusia dengan memberikan
pendidikan lebih berkualitas, lebih efektif, lebih cepat dan dengan dukungan biaya
negara yang menanggungnya”. Berbagai upaya telah dilakukan oleh bangsa
Indonesia untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia termasuk
pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang diharapkan
tuntas pada tahun 2008 yang dapat diukur antara lain dengan peningkatan angka
partisipasi kasar jenjang pendidikan sekolah menengah pertama dan yang
sederajat menjadi 95 persen. Namun demikian sampai dengan tahun 2006 belum
seluruh rakyat dapat menyelesaikan jenjang pendidikan dasar.
Kemajuan
teknologi menawarakan solusi untuk menyediakan akses pendidikan dan pemerataan
pendidikan kepada masyarakat belajar yang tinggal di daerah terpencil.
Pendidikan harus dapat memenuhi kebutuhan belajar orang-orang yang kurang
beruntung ini secara ekonomi ketimbang menyediakan akses yang tak terjangkau
oleh daya beli mereka. Televisi saat ini digunakan sebagai sarana pemerataan
pendidikan di Indonesia karena fungsinya yang dapat menginformasikan suatu
pesan dari satu daerah ke daerah lain dalam waktu yang bersamaan.
Ini
dalam rangka peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan di semua jalur,
jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan prinsip teknologi pendidikan
berdasarkan kebijakan yang ditetapkan Menteri Pendidikan Nasional.
7.
Keadaan sekolah
Berdasarkan
data yang diperoleh dari Kemendiknas tahun 2009 mengenai kondisi sekolah di
Indonesia, masih banyak keprihatinan yang harus diperhatikan oleh segenap
bangsa dan tanah air. Hanya bergantung pada peran pemerintah untuk
mengembangkan infrastruktur pendidikan di Indonesia tidak akan cukup untuk
mencapai tingkat pendidikan maksimum. Pada tahun 2009, terdapat 114,228 sekolah
dasar, 28,777 sekolah menengah pertama dan hanya 18,354 sekolah menengah di
Indonesia. Hal ini mencerminkan kondisi terbatasnya sarana dan prasarana
pendidikan di Indonesia. Walaupun jumlahnya telah meningkat di tahun 2011,
namun kemungkinan peningkatan sarana dan prasarana untuk tingkat sekolah
menengah sangat kecil, karena fokus pemerintah dan masyarakat pada umumnya saat
ini masih pada tingkat sekolah dasar.(Kemendiknas, 2009)
Tidak
hanya itu, hampir seluruh Sekolah Dasar di Indonesia tidak menyediakan
perpustakaan, terlebih lagi ruang komputer dan laboratorium. Hanya 35.16% SMP
yang memiliki fasilitas perpustakan dan 21.27% SMP yang memiliki fasilitas
komputer. Sedangkan, 64.40% SM sudah dapat menikmati fasilitas perpustakaan dan
27.42% SM yang dapat memiliki fasilitas ruang komputer. Pada jenjang pendidikan
SMP, fasilitas yang tersedia yaitu laboratorium IPA (31.82%), Biologi (3.07%),
Kimia (4.57%), Fisika (1.96%), Bahasa (8.38%) dan IPS (2.22%). Sedangkan,
tingkatan SM sudah memiliki fasilitas laboratorium yang relatif memadai
walaupun jumlahnya belum sepadan, yakni Lab IPA (27.47%), Lab Biologi (13.99%),
Lab Kimia (19.69%), Lab Fisika (13.60%), Lab Bahasa (21.70%), Lab Multimedia
(7.48%), Lab Komputer (65.77%) dan Lab IPS (3.96%). (Kemendiknas, 2009)
Permasalahannya
ada pada ketersediaan dana. Jika bahkan untuk ruang kelas saja masih tidak
memadai, tentunya akan sangat sulit untuk mengadakan fasilitas lainnya. Pada
tahun 2009, kondisi ruang kelas terburuk dialami oleh tingkatan pendidikan
sekolah dasar dimana 44.84% ruang kelasnya dalam kondisi rusak, 20.14% ruang
kelas SMP dan 11.13% ruang kelas SMA dalam kondisi rusak, baik rusak ringan
maupun rusak berat.
Sekolah sebagai tempat
bermain dan bersosialisasi dengan teman sebaya atau dengan guru atau dengan
karyawan yang ada dalam sekolah tersebut berusaha memberikan layanan terbaiknya
agar anak dapat berinteraksi dengan baik dan dia(anak) tidak merasa tertekan
atau tidak senang dengan berada dalam sekolah.
Namun pada kenyataannya
sekarang sarana pendidikan atau sekolah khususnya belum menampakkan fungsinya
yang baik. Masih banyak kekurangan yang ada pada sekolah-sekolah di Indonesia
umumnya dan pada daerah-daerah pelosok khususnya. Alasan yang pokok adalah
kurang terjangkaunya daerah tersebut oleh peralatan-peralatan yang modern.
Selain itu fasilitas yang ada pada sekolah-sekolah boleh dikatakan sangat
kurang dan jauh dari cukup. Terkebih pada daerah pinggiran kota yang kurang
mendapat perhatian khusus dari pemerintah.
8.
Kekerasan
di Sekolah
Kekerasan di dunia
pendidikan kembali terjadi. Beberapa kali kasus selalu terjadi, baik sekolah
kota maupun disekolah yang ada di desa.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah kembali terjadi karena belum ada tindakan tegas dari pemerintah terhadap pelaku kekerasan di sekolah. "Guru yang melakukan kekerasan, setahu saya belum ada yang sampai dipecat karena Menteri menganggap ini hal biasa untuk mendisiplinkan anak. Padahal itu salah," katanya saat berbincang dengan okezone, Rabu (28/9/2011). Dampaknya, psikologis anak akan menjadi tertekan. "Itu salah satu proses radikalisme terjadi. Kalau sekolah sudah mengajarkan kekerasan itu bagian dari menumbuhkan sikap radikal," ujarnya.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah kembali terjadi karena belum ada tindakan tegas dari pemerintah terhadap pelaku kekerasan di sekolah. "Guru yang melakukan kekerasan, setahu saya belum ada yang sampai dipecat karena Menteri menganggap ini hal biasa untuk mendisiplinkan anak. Padahal itu salah," katanya saat berbincang dengan okezone, Rabu (28/9/2011). Dampaknya, psikologis anak akan menjadi tertekan. "Itu salah satu proses radikalisme terjadi. Kalau sekolah sudah mengajarkan kekerasan itu bagian dari menumbuhkan sikap radikal," ujarnya.
Padahal Undang-Udang
perlindungan anak tahun 2002 pasal 59 jelas menyebutkan sekolah wajib menjadi
zona anti kekerasan.
guru yang melakukan kekerasan terhadap anak tidak memenuhi syarat psikologis untuk menjadi tenaga pengajar.
guru yang melakukan kekerasan terhadap anak tidak memenuhi syarat psikologis untuk menjadi tenaga pengajar.
9.
Mutu
Pendidikan
Lebih dari tiga dekade Indonesia telah meningkatkan
angka partisipasi sekolah dengan baik. Pada tahun 2002, angka partisipasi kasar
untuk sekolah dasar melebihi 100 persen, meningkat dari 80 persen di tahun
1970, dan angka partisipasi murni sekolah dasar saat ini mencapai 93
persen. Partisipasi sekolah pada jenjang sekolah menengah pertama juga
menunjukkan peningkatan yang mengesankan. Angka partisipasi murni
meningkat dari hanya 18 persen pada tahun 1970 menjadi 80 persen pada
tahun 2002. Indonesia juga telah cukup berhasil dalam mengurangi
ketimpangan angka partisipasi antara laki-laki dengan perempuan. Angka
partisipasi, terutama pada jenjang pendidikan dasar, dapat disejajarkan dengan
negara-negara di Asia timur lain yang mempunyai tingkat pendapatan perkapita
yang lebih tinggi (gambar 1). Meski demikian, Indonesia harus
memberikan perhatian khusus akan dampak buruk krisis keuangan pada akhir
periode 1990-an yang telah merusak catatan pendidikan yang mengesankan ini.
Angka partisipasi sempat menurun ketika krisis, namun segera meningkat karena
disebabkan salah satunya oleh pengenalan program beasiswa dan dana
untuk sekolah yang dimaksudkan untuk menjamin setiap anak bisa
bersekolah.
Disamping berbagai kesuksesan tersebut, masih
banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.
1.
Tidak semua anak bersekolah. Indonesia
masih belum mampu memenuhi program wajib belajar 9 tahun bagi semua anak. Saat ini masih terdapat
sekitar 20 persen anak usia sekolah
menengah pertama yang masih belum bersekolah.
Perbedaan partisipasi
antar daerah yang cukup besar. Pada tahun 2002, sebagai contoh, angka partisipasi murni pada jenjang
sekolah dasar berkisar antara 83,5 persen di propinsi Gorontalo dan 94,4 persen
di Sumatera Utara. Pada jenjang sekolah menengah pertama, angka
partisipasi murni berkisar antara 40,9 persen di Nusa Tenggara Timur dan
77,2 persen di Jakarta dan pada jenjang sekolah menengah atas berkisar
antara 24,5 persen di Nusa Tenggara Timur dan 58,4 persen di Yogyakarta.
2.
Anak dari kelompok miskin keluar dari sekolah lebih
dini. Pada tahun 2002 angka partisipasi sekolah menengah pertama
dari kelompok penduduk seperlima terkaya, lebih tinggi 69 persen
dibandingkan dengan angka partisipasi dari kelompok seperlima termiskin.
Sementara pada jenjang sekolah menengah atas, angka partisipasi murni
dari kelompok seperlima terkaya mencapai tiga setengah kali lebih
tinggi dibandingkan dengan angka partisipasi murni kelompok termiskin.
Walaupun hampir semua anak dari berbagai kelompok pendapatan bersekolah
di kelas satu sekolah dasar, anak dari kelompok pendapatan termiskin
cenderung menurun partisipasinya setelah mencapai kelas enam.
3.
Kualitas sekolah di Indonesia masih rendah dan cenderung memburuk. Selama ini
ekspansi sekolah tidak menghasilkan lulusan dengan pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk membangun masyarakat yang
kokoh dan ekonomi yang kompetitif di masa depan. Bukti ini ditunjukkan dengan rendahnya
kemampuan murid tingkat 8 (SMP kelas 2) dibandingkan dengan negara tetangga Asia pada ujian-ujian
internasional di tahun 2001 (lihat tabel 1). Telihat cukup jelas bahwa
ekspansi partisipasi sekolah di Indonesia tidak diikuti dengan peningkatan kualitas.
4.
Persiapan
dan kehadiran tenaga pengajar yang masih kurang. Berbeda
dengan kebanyakan negara, Indonesia memperbolehkan semua
lulusan institusi pendidikan keguruan menjadi tenaga pengajar, tanpa
perlu melewati ujian dalam hal kesiapan untuk memberikan ilmu
pengetahuan dan keahlian mereka pada kondisi sekolah yang beragam.
Pada waktu yang sama terdapat kesulitan untuk memberhentikan
tenaga pengajar yang tidak mampu mengajar. Lebih jauh,
berdasarkan survei yang dilakukan untuk Laporan Pembangunan Dunia
2004, 20 persen tenaga pengajar Indonesia tidak masuk sekolah pada
saat pengecekan di sekolah-sekolah yang terpilih secara random. Ini
berarti 20 persen dari dana yang digunakan untuk membiayai tenaga pengajar
tidak memberikan manfaat secara langsung kepada murid, karena
ternyata tenaga pengajar tersebut tidak berada di kelas.
5.
Pemeliharaan
sekolah-sekolah tidak dilakukan secara berkala. Berdasarkan
data survei sekolah dari Departemen Pendidikan Nasional, satu
dari enam sekolah di Jawa Tengah berada dalam kondisi yang buruk,
sementara itu sedikitnya satu dari dua sekolah di Nusa Tenggara Timur juga
berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Murid-murid berada
di ruang kelas tanpa peralatan belajar yang memadai, seperti buku
pelajaran, papan tulis, alat tulis, dan tenaga pengajar yang menguasai materi
pelajaran sesuai kurikulum.
Kondisi
pendidikan yang memprihatinkan ini tidak hanya dibiarkan begitu saja oleh kaum
cendikiawan Indonesia. Salah satu cendikiawan Indonesia yang memiliki
keseriusan mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan adalah Ki Hadjar
Dewantara. Beliau telah berjasa besar untuk Negara ini di bidang pendidikan,
sehingga melalui Kepres No. 916 tanggal
16 Desember 1959, tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai hari pendidikan
nasional. Ajaran beliau yang terkenal adalah tut wurihandayani (di belakang
memberi dorongan), ing madya mangunkarsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa),
dan ingngarsa sungtulada (di depan memberi teladan), melandasi berdirinya Taman
Siswa yang didirikan di Yogyakarta.
Dalam
masa kekhalifahan, Pendidikan pun dijadikan urusan utama dalam Negara, misalnya
pada masa Kekhalifahan Umar bin al-Khaththab. Pada masa beliau, gaji yang
diberikan kepada para pengajar al-Quran masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar
= 4,25 gram emas. Jika 1 gram emasRp 100.000,00, 1 dinar berartisetaradenganRp
425.000,00. Artinya, gaji seorang guru ngaji adalah 15 (dinar) X Rp 425.000,00
= Rp 6.375.000,00. Para khalifah juga sangat peduli terhadap dunia perbukuan.
Pada abad ke-10, misalnya, di Andalusia saja, terdapat 20 perpustakaan umum.
Perpustakaan Cordova, misalnya, memiliki tidak kurang dari 400 ribu judul buku.
Ini termasuk jumlah yang luar biasa untuk ukuran zaman itu. Padahal empat abad
setelahnya, dalam catatan Chatolique Encyclopedia, Perpustakaan Gereja
Canterbury saja yang terbilang paling lengkap pada abad ke-14 miliki 1800 (1,8 ribu)
judul buku. Perpustakaan Darul Hikmah di Kairo juga mengoleksi tidak kurang 2
juta judul buku.
10.
Teknologi
Pendidikan
Di dunia
pendidikan pembahasan mengenai pentingnya teknologi (teknologi pendidikan)
dalam Kegiatan Belajar / Mengajar (KBM) muncul hampir setiap hari. Mengapa
begitu? Karena pendidikan termasuk industri yang paling besar di dunia. Jadi
untuk manufakturer atau distributor produk atau jasa teknologi, pendidikan
adalah pasaran yang sangat menarik.
Seharusnya ini tidak sebagai masalah kalau produk-produk dievaluasikan dan diuji coba di dunia pendidikan oleh Ilmuwan Teknologi Pendidikan sebelum pembahasanya masuk ke sekolah-sekolah, kampus, atau lembaga pendidikan.
Seharusnya ini tidak sebagai masalah kalau produk-produk dievaluasikan dan diuji coba di dunia pendidikan oleh Ilmuwan Teknologi Pendidikan sebelum pembahasanya masuk ke sekolah-sekolah, kampus, atau lembaga pendidikan.
Ilmuwan
Teknologi Pendidikan harus menimbang keadaan di lapangan. Apakah keadaan di
lapangan (infrastruktur) sudah siap untuk menggunakan teknologi ini? Apakah
bahan untuk menggunakan teknologi ini sudah siap dan dapat diakses oleh semua
praktisi pendidikan di lapangan? Bahan harus duluan sebelum teknologinya!
Apakah alokasi anggaran ke teknologi ini tidak akan merugikan banyak pengajar
di lapangan yang mempunyai kebutuhan teknologi yang sederhana untuk
melaksanakan pendidikan yang bermutu? Apa dampaknya di lapangan di dunia
pendidikan? Misalnya kalau ada Menteri Teknologi atau Pendidikan yang
mengumumkan bahwa teknologi baru (tertentu) adalah solusi untuk meningkatkan
mutu pendidikan, bagaimana perasaan guru-guru di lapangan yang mimpinya masih
adalah mempunyai sambungan listrik ke sekolahnya, atau ruang kelas yang tidak
bocor, atau papan tulis yang dapat digunakan? Mereka tidak dapat membayangkan
bahwa mereka dapat menggunakan teknologi ini? Apakah dampaknya positif? Apakah
pengumuman begini akan meningkatkan semangat guru-guru untuk mengajar sebaik
mungkin dalam keadaannya? Apakah sebelum ada teknologi yang canggih kita tidak
dapat melaksanakan pendidikan yang bermutu? Apakah kita perlu teknologi
pendidikan untuk mencapaikan proses belajar/mengajar yang bermutu?
Setiap
kali mengajar, tanya diri sendiri (dan guru-guru lain yang berpengalaman)
Apakah saya perlu menggunakan teknologi pendidikan untuk mengajar topik ini?
Kalau ya, teknologi apa yang paling cocok? Biasanya teknologi atau peraganya
adalah sangat sederhana (kalau betul berbasis-kebutuhan).
11.
Dana
Pendidikan
Muhammad Nuh sebagai
menteri pendidikan nasional mengajukan tambahan dana untuk anggaran pendidikan
sebesar Rp 11,762 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Perubahan (APBN-P) 2011. Rencananya tambahan dana ini diajukan untuk menambah
anggaran beasiswa dan juga pendidikan di daerah timur Indonesia.Di satu sisi,
hal ini patut diapresiasi mengingat dana pendidikan di Indonesia akan ditambah.
Tentu saja, jika penyamapaiannya tepat, dana ini akan sangat membantu mereka
yang tidak memiliki akses terhadap pendidikan. Namun di sisi lain, hal ini akan
menimbulkan pertanyaan lebih jauh: akankah dana pendidikan ini tepat sasaran
seperti yang diharapkan?. Bahwa dengan anggaran pendidikan sekarang yang
dipatok sebesar 20% dari APBN, masih saja terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Padahal, pemerintah mematok adanya program wajib belajar sembilan
tahun. Dan kejadian-kejadian di atas terjadi pada daerah pendidikan dasar
tersebut. Oleh karena itu, wajar jika masyarakat akan menilai tambahan dana
yang sekalipun akan dikucurkan tersebut tidak akan mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat kecil terkait akses pendidikan. Realitas yang ada sekarang ini
menyatakan hal sebaliknya. Malahan, yang akan timbul adalah ketakutan akan
penyelewengan dana tersebut.
Menambahkan dana
pendidikan itu memang perlu namun, untuk apa penambahan tersebut dilakukan jika
harus mengalami kebocoran dimana-mana? Analoginya seperti menambahkan debit air
bersih. Jika debit ditambahkan namun kebocoran pada pipa tetap terjadi,
akhirnya penambahan itu akan sia-sia juga sebab yang membuat debit itu berkurang
sampai di pelanggan bukan hanya masalah besar atau kecilnya debit awal
melainkan kebocorannya. Oleh karena itu, yang seharusnya dilakukan sebelum
penambahan dana adalah dengan menanggulangi kebocoran itu terlebih dahulu. Dana
bantuan operasional sekolah (BOS) yang dialirkan ke daerah-daerah sudah
sepatutnya diawasi pemakaiannya oleh pemerintah daerah. Jangan sampai dana
tersebut sampai pada tangan-tangan yang tidak berhak mendapatkannya. Jika dana
BOS ini sudah terealisasi dengan baik, maka seharusnya masalah uang kursi dan
seragam sekolah tidak lagi harus dipermasalahkan.
Jika perlu, lembaga
auditor independen bisa dibentuk untuk mengecek aliran dana. Lembaga ini bisa
terdiri dari perwakilan orang tua murid dibantu beberapa pihak pakar pendidikandan
juga auditor. Tentu saja untuk masalah ini, harus juga dibantu dengan
transparansi pemerintah daerah untuk mau menunjukkan aliran dana pendidikannya.
Lebih jauh lagi, aliran dana pendidikan ini juga harus jatuh kepada orang-orang
yang membutuhkan tidak sebatas pada sekolah-sekolah. Artinya, harus ada jaminan
bahwa orang-orang yang tidak mampu akan mendapatkan akses pendidikan. Oleh
karena itu, dalam hal ini sekolah memiliki kewajiban untuk merangkul
orang-orang tidak mampu untuk bersekolah karena sudah mendapatkan dana BOS
tersebut. Penambahan dana memang baik di
satu sisi. Namun jika hal ini tidak diimbangi dengan menambal kebocoran dana
pendidikan itu sendiri, semuanya akan menjadi sia-sia. Semoga ada itikad baik
untuk melakukan keduanya sehingga akses menuju pendidikan sembilan tahun dapat
tercapai bagi semua anak Indonesia.
12.
Reformasi
Pendidikan
Pendidikan
adalah kata kunci untuk meningkatkan kesejahteraan dan martabat bangsa. Tak
salah jika kita sebut pendidikan sebagai pilar pokok dalam pembangunan bangsa.
Tinggi-rendah derajat suatu bangsa bisa dilihat dari mutu pendidikan yang
diterapkannya.Pendidikan yang tepat dan efektif akan melahirkan anak-anak
bangsa yang cerdas, bermoral, memiliki etos kerja dan inovasi yang tinggi.
Negara-negara yang telah berhasil mencapai kemajuan dan menguasai
teknologi-peradaban mengawali kesuksesannya dengan memberi perhatian yang besar
terhadap sektor pendidikan nasionalnya. Sektor pendidikan mendapat dukungan
penuh dan secara terus menerus sistemnya diperbaiki agar sesuai dengan kondisi,
kebutuhan, dan daya akses seluruh lapis masyarakat mereka.
Harus
kita akui, pelaksanaan pendidikan di Indoensia masih jauh dari yang
diharapankan. Begitu juga dengan mutu yang dihasilkannya. Padahal, amanat
Undang-Undang Dasar 1945 mematok tujuan pendidikan nasional begitu tinggi: bisa
mencerdaskan bangsa Indonesia. Cerdas dalam artian mayoritas rakyat Indonesia
memiliki budaya belajar dan mengajar dalam aktivitas kesehariannya.
Upaya
memperbaiki Pendidikan Nasional tidak hanya menyangkut masalah fisik dan dana
saja. Tapi, harus lebih mendasar dan strategis. Sistem Pendidikan Nasional
perlu direformasi dengan memadukan wahyu Tuhan dan ilmu pengetahuan sebagai
arena utama aktivitas pendidikan. Sekolah bukan hanya menjadi tempat pembekalan
pengetahuan kepada anak bangsa, tapi juga lembaga penanaman nilai dan pembentuk
sikap dan karakter. Anak-anak bangsa dikembangkan bakatnya, dilatih kemampuan
dan keterampilannya. Sekolah tempat menumbuhkembangkan potensi akal, jasmani,
dan rohani secara maksimal, seimbang, dan sesuai tuntutan zaman. Output
keseluruhan proses pendidikan adalah menyiapkan peserta didik untuk bisa
merealisasikan fungsi penciptaannya sebagai hamba Tuhan dan kemampuan mengemban
amanah mengelola bumi untuk dihuni secara aman, nyaman, damai, dan sejahtera.
Pelaksanaan
proses pendidikan harus efektif untuk menanamkan jiwa kebebasan, kemandirian,
dan kewirausahaan. Dengan begitu anak-anak bangsa yang menjadi peserta didik
bisa eksis dalam persaingan di masa datang berbekal keterampilan hidup (life
skill) dan daya juang (adversity quotient) yang mumpuni. Kurikulum diarahkan
untuk memberi pengalaman belajar yang seimbang yang meliputi aspek intektual
(IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ). Dan titik tekannya adalah membentuk
karakter pembelajar agar anak bangsa yang menjadi peserta didik memiliki
keinginan untuk belajar di sepanjang hayatnya. Tipe bangsa pembelajarlah yang
bisa survive menghadapi persaingan global yang rivalitasnya bukan lagi di
tataran negara vs negara atau kota vs kota. Tetapi, sudah di level individu vs
individu.
Karena
itu, menjadi hajat kita bersama untuk memperjuangkan perbaikan dan pembangunan
dunia pendidikan di negeri ini. Apa saja agenda strategis yang harus segera
kita lakukan?. Pertama, melakukan pembangunan Sistem Pendidikan Nasional yang
konprehensif, integratif, dan aplikatif. Makna konprehensif adalah menjamin
perbaikan yang berkelanjutan, integratif tak memisahkan aspek moral dan
nilai-nilai luhur dari pembelajaran dan pengajaran, dan aplikatif menunjuk pada
mutu dan meningkatnya daya saing bangsa. Kedua, meningkatkan wajib belajar dari
Sembilan tahun menjadi dua belas tahun.
Ketiga,
meningkatkan kopetensi, kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan terhadap
profesi guru tanpa membeda-bedakan status kepegawaian, PNS atau swasta.
Keempat, mengawal realisasi anggaran pendidikan yang besarnya 20% dari total
APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sebagaimana amanah Pasal 31 ayat
4 Amandemen IV UUD 1945.
Kelima,
melakukan monitoring dan evaluasi sistematis terhadap berbagai aspek konsep dan
operasional Sistem Pendidikan Nasional di semua jenis, jenjang, dan jalur
pendidikan. Kenam, memastikan terlaksananya proses pendidikan yang menanamkan
jiwa kebebasan, kemandirian, kewirausahaan, dan meningkatkan keterampilan hidup
dan daya juang kepada anak-anak bangsa yang menjadi peserta didik.
Ketujuh,
menerapkan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dan meningkatkan
partisipasi masyarakat baik dalam penyelenggaraan pendidikan formal, nonformal,
dan informal. Kedelapan, meningkatkan kualitas pengelolaan manajemen sekolah
dan metode pembelajaran serta menjadikan sekolah tidak lagi sebagai menara
gading yang steril dari analisis kebutuhan lingkungan sekitarnya. Sekolah bukan
hanya tempat penyelenggaraan pendidikan, tapi juga bisa menjadi pusat latihan,
seminar, workshop, dan studi banding. Sekolah adalah pusat belajar masyarakat
di wilayahnya berada.
Kesembilan,
terselenggaranya pendidikan yang murah, bermutu, dan berwawasan global yang
memiliki daya saing nasional di percaturan global. Kesepuluh, memberi perhatian
serius pada pendidikan khusus bagi anak bangsa yang disebabkan oleh cacat atau
kecerdasan luar biasa peserta didik.
Kesebelas,
menjadikan sekolah sebagai tempat kaderisasi kepemimpinan nasional dan memasukkan
program wajib militer untuk menumbuhkan rasa nasionalisme. Keduabelas,
menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap pendidikan. Kesadaran masyarakat
untuk ambil bagian dalam pendidikan adalah bentuk dari ketahanan sosial atas
perubahan tantangan lingkungan yang terjadi. Pendidikan tidak lagi menjadi
tanggung jawab orang tua secara individu per individu, tetapi itu tanggung
jawab komunitas secara bersama. Ketigabelas, memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi untuk meningkatkan mutu pendidikan.
F. SOLUSI
Untuk menyelesaikan problem – problem
pendidikan diatas antara lain dengan melakukan transpransi pengelolaan
pendidikan dan pemerataan akses pendidikan.
G. REKOMENDASI
1. Kepada
pemerintah; agar pemerintah mengeluarkan kebijakan – kebijakan yang mendukung
pelaksanaan pendidikan yang transparan dan meringankan bagi masyarakat.
2. Kepada
penyelenggara pendidikan; agar melaksanakan program pendidikan yang tranparans.
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra, 1999. Pendidikan
Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium baru, Jakarta: Logo
Macam ilmu.
Bacharch Samuel, 1990. Education
reform making sense of it all, Massachusetts Ally dan Bacon.Inc
Djohar, 2003. Pendidikan Strategik Alternative untuk
Pendidikan Masa Depan Yogyakarta: LESFI.
Heryanto, 2000. Industri alisasi Pendidikan: Berkah Tantangan
atau Bencana bagi Indonesia, Yogyakarta: Kanisus.
Hujair Ali, 1988. Makalah Seminar, Reformasi Pendidikan Suatu
Keharusan Untuk Memasuki Mileniun III. Yogyakarta: MAP Univeristas
Gadjah Mada.
Maskun dan Ruhendi, 2004. Paradigma
Pendidikan Iniversal di Era Moder dan Post-Moderen: Mencari
visi Baru atas Realitas Baru pendidikan kita Yoyakarta: IRCisoD
Rich John Martin, 1988. Innovation
in Education Reformers and Their Critis, Massachusetts
Ally dan Bacon, Inc.
Sihombing dan Indiardjo, 2003. Biaya
Pendidikan, Jakarta Balitbang Pendidikan Nasional.
Soewartoyo, 2003, Persepsi Masyarakat terhadap Desentarlisasi
Pendidikan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Tilaar H.A.R, 1999. Beberapa agenda reformasi pendidikan nasional
dalam perspektif abad XXI, Magelang: Indonesia.
T. Sulistyono, Drs. M.Pd.,MM. 2003. Wawasan
Pendidikan. Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.
Zainudin,
2008. Reformasi
pendidikan, kritik kurikulum dan manajemen berbasis sekolah, Yogyakarta:
Pustaka pelajar.
Komentar
Posting Komentar