Isu - Isu Pendidikan


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas kehendak-Nya makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu. Penulisan makalah a ini bertujuan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Isu-Isu Pendidikan. Selain untuk memenuhi tugas Mata Kuliah, penulis berkeinginan memaparkan profil isu-isu pendidikan diindonesia tahun 2008 - 2011.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mengalami kesulitan terutama disebabkan akan kurangnya pengetahuan. Namun, berkat bimbingan dari berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat terselesaikan walaupun masih terdapat kekurangan didalamnya. Karena itu, sepantasnya jika penulis mengucapkan terima kasih kepada :
  • Allah SWT,
  •  Drs. H.Rohmat,M.Pd.,Ph.D selaku dosen pengampu mata kuliah Isu-isu pendikan Islam yang telah banyak memberi bimbingan dan masukan-masukan.
  • Teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu-satu, terima kasih atas dukungan dan doanya.
Penulis menyadari makalah ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang positif agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan datang.

                Surakarta,      Desember 2011








A.      RASIONAL
Pendidikan adalah kata kunci untuk meningkatkan kesejahteraan dan martabat bangsa. Tak salah jika kita sebut pendidikan sebagai pilar pokok dalam pembangunan bangsa. Tinggi-rendah derajat suatu bangsa bisa dilihat dari mutu pendidikan yang diterapkannya. Pendidikan yang tepat dan efektif akan melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, bermoral, memiliki etos kerja dan inovasi yang tinggi. Negara-negara yang telah berhasil mencapai kemajuan dan menguasai teknologi-peradaban mengawali kesuksesannya dengan memberi perhatian yang besar terhadap sektor pendidikan nasionalnya. Sektor pendidikan mendapat dukungan penuh dan secara terus menerus sistemnya diperbaiki agar sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan daya akses seluruh lapis masyarakat mereka. Harus kita akui, pelaksanaan pendidikan di Indoensia masih jauh dari yang diharapankan. Begitu juga dengan mutu yang dihasilkannya. Padahal, amanat Undang-Undang Dasar 1945 mematok tujuan pendidikan nasional begitu tinggi: bisa mencerdaskan bangsa Indonesia. Cerdas dalam artian mayoritas rakyat Indonesia memiliki budaya belajar dan mengajar dalam aktivitas kesehariannya.
Pendidikan sebagai sarana membentuk karakter bangsa sudah semestinya mampu menjadi ruang untuk melahirkan intelektual yang nantinya bisa menopang keberlangsungan perjalanan bangsa yang bersandar pada kesejahteraan rakyat, esensi pendidikan tersebut sepertinya telah jauh dari harapan yang ada. Keberadaan institusi pendidikan yang ada saat ini malah menjadi institusi yang menghamba pada modal dan kekuasaan, keberadaan pendidikan tidak lebih sebagai ruang legitimasi akademik yang dijadikan alat pembenar dalam penerapan kebijakan-kebijakan yang anti terhadap rakyat. Memahami praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog dan tindakan-tindakan komunikatif yang menghasilkan pencerahan. Habermas menempuh jalan konsensus dengan sasaran terciptanya demokrasi radikal yaitu hubungan sosial dalam lingkup komunikasi bebas penguasaan. Masalahnya, emansipasi lanjut Mulawarman (2006) tidak mempertautkan sesuatu yang ada dan hanya bersifat material saja dengan komunikasi untuk membentuk makna baru. Emansipasi yang dilakukan di sini adalah melakukan redefinisi makna terlebih dahulu untuk kemudian dilakukan ekstensi makna baru dengan nilai-nilai etis, batin dan spiritual. Emansipasi di sini dilakukan dengan langkah penyucian batin maupun spiritual.
Kajian sosiologi tentang pendidikan pada prinsipnya mencakup semua jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan diluar sekolah. Masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan, utamanya pada zaman pemerintahan Orde Baru, telah mengalami banyak perubahan. Sebagai masyarakat majemuk, maka komunitas dengan ciri-ciri unik baik secara horizontal maupun vertikal masih dapat ditemukan, demikian pula halnya dengan sifat-sifat dasar dari zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya.
Permasalahan pendidikan di Indonesia sangat komplek dan banyak sekali, sehingga perlu pembahasan yang panjang dan berkelanjutan. Demikian pula isu-isu pendidikan yang terjadi diindonesia antara lain yang berkaitan dengan ; konstitusi pendidikan; korupsi; kurikulum; guru; ujian nasional; akses dan equity; keadaan sekolah; kekerasan disekolah; mutu pendidikan; teknologi pendidikan; dana pendidikan; dan reformasi pendidikan.
B.       IDENTIFIKASI ISU
Setelah menelaah isu-isu pendidikan yang berkembang pada periode 2008 sampai 2011, maka isu-isu pendidikan antara lain : konstitusi pendidikan; korupsi dan pendidikan; kurikulum pendidikan; guru; ujian nasional; akses dan equity; keadaan sekolah; kekerasan disekolah; mutu pendidikan; teknologi pendidikan; dana pendidikan; dan reformasi pendidikan.
C.      ISU – ISU PENDIDIKAN
1.         Konstitusi pendidikan;
2.         Korupsi dan pendidikan;
3.         Kurikulum pendidikan;
4.         Guru dan pendidikan;
5.         Ujian Nasional;
6.         Akses dan equity pendidikan;
7.         Keadaan sekolah;
8.         Kekerasan disekolah;
9.         Mutu pendidikan;
10.     Teknologi pendidikan;
11.     Dana pendidikan;
12.     Reformasi pendidikan.
D.      PENDEKATAN
Dalam makalah ini penulis menggunakan pendekatan psikologi dan pendekatan pendidikan.
E.       PEMBAHASAN
1.    Konstitusi Pendidikan
Pemerintah dinilai masih gagal dalam upaya pemenuhan hak pendidikan bagi warga negara sesuai tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 dan amanat dari esensi UUD 1945.
Pasalnya, saat ini warga negara kelas menengah ke bawah harus menanggung beban berat dalam menikmati pendidikan dasar dan menengah, dan semakin sulit untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi (perguruan tinggi).Ketika sebelum memasuki abad ke-21, yakni tingginya harapan dan impian bagi anak-anak kelas menengah ke bawah untuk melanjutkan pendidikan tinggi, ataupun menikmati pendidikan dasar dan menengah tanpa beban berat.
Sementara itu pendidikan kedinasan tidak sesuai dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Fasli Jalal, Wakil Menteri Pendidikan Nasional, mengatakan, pendidikan kedinasan di bawah instansi pemerintahan mesti menyesuaikan diri dengan ketentuan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Ketentuan UU Sisdiknas menyebutkan, pendidikan kedinasan yang diakui pemerintah adalah pendidikan profesi, yaitu bentuk pendidikan tinggi setelah program sarjana. Ini diatur dalam Pasal 29 UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Polemik Pendidikan Kedinasan ini pernah menyita perhatian Kementerian Kesejahteraan Rakyat. Mantan Menko Kesra Aburizal Bakrie, melalui surat tertanggal 12 September 2008, mengakui, UU Sisdiknas tidak sejalan dengan praktik pendidikan kedinasan yang ada.
2.      Korupsi dan Pendidikan
Menurut Hendrawan (2003), tiap orang dilahirkan sebagai murid. Orang tumbuh berbudaya jika moral ditanamkan dan dipelihara. Kehidupan harus disikapi sebagai proyek moral dan menurut Confusius, “yang ingin mengatur hidup bangsanya harus mengatur hidup keluarganya. Yang ingin mengatur hidup keluarganya harus mengatur hidup pribadinya membentuk hati yang benar, kehidupan pribadi yang dibudayakan (memelihara hukum moral), dengan demikian kehidupan keluarga menjadi teratur. Keluarga yang teratur membangun bangsa yang teratur”. Beragama tidak selalu pararel dengan bermoral. Beriman belum tentu serta-merta mengenal norma. Ada nilai dalam religiositas, ada norma dalam moralitas. Agama merupakan sekolah iman dan di dalam asuhan keluarga yang teratur moral bisa naik kelas. Anak yang tak memiliki standar kebenaran dan moral, yang tak diajar pintar membedakan yang benar dari yang salah akan hidup di pinggiran moral.
Kondisi itu dialami sebagian besar anak muda AS. Riset Barna (George Barna and The Barna Research group, Ltd) mengungkap anak-anak di banyak belahan dunia kini dibiarkan kehilangan sistem nilai. Di AS, generasi Baby Boomers angkatan Bill Clinton (yang lahir 1946-1964) dan generasi Baby Busters, yang lahir setelah 1964 sama-sama mengadopsi budaya yang tak selalu mengetahui perbedaan antara benar dan salah, antara manusia dan binatang, tak punya lensa moral tajam, tak menyimpan pandangan kebenaran yang kuat. Selain kehilangan sistem nilai, ada yang merosot dalam warisan nilai tradisional anak-anak setelah Bill Clinton.
Empat faktor dianggap menjadi penyebabnya. Pertama, media massa membuat nilai permisif barat secara mondial semakin menjadi sebahasa. Ketika media massa membuat pergaulan lintas kultur menjadi begitu akrab, dunia semakin kecil, dan imbas nilai rentan ditularkan dan diadopsi. Ketika anak lebih banyak belajar nilai dari televisi (yang tak selalu realistis) ketimbang dari ayah-ibu, hampanya sistem nilai tradisional di sekolah yang hanya mengajar dan kurang mendidik, serta rumah yang cenderung menjadi “sarang kosong”, sebab orang tua sibuk, menjadikan nilai dan norma yang tertanam dan tumbuh kepada anak menjadi asing, absurd, dan boleh jadi teralienasi.
Penyebab kedua, pergerakan urbanisasi menggeser nilai yang dipetik dari keluarga besar (dengan hadirnya kakek, nenek, paman dan bibi) beralih ke nilai keluarga inti. Anak dibesarkan pembantu dan kian terasing dari lingkungan tradisi dan cenderung menjadi besar bukan sebagai murid. Ketika sekolah lupa melakukan tugas pembudayaan, dan orang tua alpa, anak tumbuh tidak tahu aturan, tidak tahu diri, liar, alih-alih beriman bermoral. Iman tak mungkin naik kelas kalau Agama cuma mengajar, tetapi tidak mendidik.
Faktor ketiga, manakala imbas dunia semakin materialisme (neo-materialism). Ketika kemakmuran ekonomi dijadikan cita-cita anak dalam bersekolah, tuntutan generasi Baby Boomers akan pekerjaan dengan bayaran tinggi melahirkan sikap menghargai keuntungan materi di atas prioritas lainnya, termasuk meganggap bukan prioritas membina hubungan erat dengan Tuhan (lahirnya Newagers, Free-thinkers). Ketika visi sekolah lebih untuk tujuan ekonomi ketimbang moral, kian menyuburkan budaya konsumerisme, manakala budaya “petik hari ini dan tenggaklah sampai tandas”, tujuan menghalalkan cara (Marchiavelism) kian dilumrahkan, kebenaran menjadi bias. Misal, dianggap lebih benar sikap berbuat tak halal untuk yang halal, ketimbang berbuat halal tetapi dipakai untuk yang tidak halal. Seakan dosa punya strata.
Faktor penyebab keempat ada di sekolah. Ketika sekolah berubah menjadi “pabrik pendidikan” (menurut Glenn & Nelson), pendidikan nilai diserahkan orang tua kepada sekolah.  Padahal,  sekolah cenderung lebih mengajar ketimbang mendidik. Tanpa nilai dan norma, buku iman dan kitab moral anak tetap saja kosong (“tabula rasa”). Kesadaran moral anak tak tumbuh, pilihan dan pedoman moral langka, alih-alih terasah lensa moral dan kacamata iman anak bila kurikulum Agama cuma kognitif, bukan alih praktis, dan pendidikan budi pekerti nyaris sirna. Orang bertanya apa lemahnya iman merupakan sebab utama sikap permisif masyarakat dan kehidupan pribadi? Bagi yang percaya bahwa iman dan moral itu dua kawasan berbeda akan menjawab bukan hilangnya rasa takut akan Tuhan yang membuat orang tak tahu malu, tak mawas, atau menjadi tak tahu diri. Orang dapat menemukan norma moral tanpa bantuan iman. Bukan sedikit orang ateis yang moralnya luhur. Bangsa beragama bukan jaminan niscaya elok moralnya. Iman bukan syarat psikologis buat moral. Bangsa kita agaknya tengah menisbikan etika, mengabaikan nilai kejujuran (Do-er-mentality).
Di tengah pluralisme moral, perlu ada jalan dari iman  ketika Agama bisa membuka pintu untuk kesediaan mengubah yang bukan nilai menjadi nilai pada diri seseorang (divinely human). Seyogyanya  iman dan moralitas hampir selalu disebut bersama agar menjadi nyata bahwa moralitas merupakan ungkapan iman religius juga. Jadi, pendidikan moral sebuah anak bangsa itu sejatinya ada di dalam keteladanan pemimpin bangsa yang kehidupan pribadinya teratur sehingga kehidupan keluarga, masyarakat dan bangsanya teratur. Pendidikan moral juga hadir dalam pendidikan agama yang bukan sekedar mengajar melainkan pintar pula dalam praksis ajaran agama yang setiap tindakannya dibenarkan di mata manusia maupun di penglihatan Tuhan
3.        Kurikulum Pendidikan
Kurikulum merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan, dan sekaligus digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses belajar mengajar pada berbagai jenis dan tingkat sekolah. Kurikulum menjadi dasar dan cermin falsafah pandangan hidup suatu bangsa, akan diarahkan kemana dan bagaimana bentuk kehidupan bangsa ini di masa depan, semua itu ditentukan dan digambarkan dalam suatu kurikulum pendidikan. Kurikulum haruslah dinamis dan terus berkembang untuk menyesuaikan berbagai perkembangan yang terjadi pada masyarakat dunia dan haruslah menetapkan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan.
Secara etimologi, kurikulum (curriculum) berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya "pelari" dan curere yang berarti "tempat berpacu". Itu berarti istilah kurikulum berasal dari dunia olah raga pada zaman Yunani Kuno di Yunani, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis start sampai finish, kemudian di gunakan oleh dunia pendidikan.
Secara terminologi, istilah kurikulum digunakan dalam dunia pendidikan, yaitu sejumlah pengetahuan atau kemampuan yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa guna mencapai tingkatan tertentu secara formal dan dapat dipertanggungjawabkan. Seiring perkembangan jaman pengertian kurikulum juga terus mengalami pergeseran makna, tugas mendidik yang harusnya diemban bersama-sama antara keluarga dan sekolah menjadi tidak berimbang, hal ini menjadikan masyarakat lebih mempercayakan masalah pendidikan anak kepada sekolah. Padahal waktu yang dimiliki anak lebih banyak dilingkungan keluarga daripada disekolah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat diikuti peledakan informasi dan peledakan penduduk membuat beban sekolah semakin berat dan kompleks akhir-akhir ini. Hal ini juga yang menyebabkan masyarakat lebih banyak menuntut ke sekolah berupa nilai-nilai dan kemampuan anak yang harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja.
Pengertian kurikulum secara luas tidak hanya berupa mata pelajaran atau kegiatan-kegiatan belajar siswa saja tetapi segala hal yang berpengaruh terhadap pembentukan pribadi anak sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan. Sebenarnya banyak pendapat dan pengertian kurikulum yang dikemukakan para ahli pendidikan pada berbagai literatur, namun intinya sebagaimana diungkapkan diatas. Selain pengertian kurikulum, ada beberapa istilah-istilah dalam kurikulum yang sering kita dengar (terutama guru) dalam lingkungan kita sehari-hari, diantaranya:
a.    Ideal Curriculum
Ideal Curriculum atau kurikulum ideal adalah kurikulum yang berisi sesuatu yang baik, yang diharapkan atau dicita-citakan sebagaimana dimuat dalam buku kurikulum.
b.      Real Curriculum
Real Curriculum, Actual Curriculum atau kurikulum aktual adalah apa yang terlaksana dalam proses belajar mengajar atau yang menjadi kenyataan dalam kurikulum yang direncanakan atau terprogram dalam pendidikan. Kurikulum Aktual sebaiknya sama dengan kurikulum ideal, atau setidak-tidaknya mendekati kurikulum ideal walaupun tidak mungkin atau tidak pernah sama dalam kenyataannya.
c.    Hidden Curriculum
Hidden Curriculum atau kurikulum tersembunyi adalah kurikulum yang terjadi dari segala sesuatu yang mempengaruhi ketika sedang mempelajari sesuatu. Pengaruh ini mungkin dari pribadi guru, dari anak didik itu sendiri, dari karyawan sekolah, atau hal-hal lain yang berada dilingkungan sekolah. Kurikulum tersembunyi muncul ketika sedang berlangsungnya kurikulum ideal atau kurikulum aktual. Kurikulum tersembunyi ini sangatlah kompleks, sulit diketahui dan dinilai.
Kurikulum dan pengajaran adalah dua istilah yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Perbedaannya hanya terdapat pada tingkatannya. Kurikulum lebih menunjukan pada suatu program yang bersifat umum, untuk jangka lama, dan tak tercapai dalam waktu seketika. Sedangkan pengajaran bersifat realistis atau aktual, sifatnya khusus dan tercapai pada saat itu juga. Atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa pengajaran adalah pelaksanaan dari suatu kurikulum secara bertahap dalam proses belajar mengajar.
Perencanaan dan pengorganisasian materi yang meliputi (1) struktur mata pelajaran di sekolah (2) materi esensial mata perajaran (3) pokok bahasan esensial, tema utama, (4) Sub pokok bahasan esensial, anak tema utama dilakukan evaluasi melalui (1)ujian akhir sekolah, uji kompetensi lulusan, (2)ujian sumatif mata pelajaran, ujian kompetensi mata pelajaran yang digambarkan oleh penguasaan beberapa standar kompetensi yang ditetapkan, (3)ujian formatif, uji stansar kompetensi yang digambarkan oleh penguasaan beberapa kompetensi dasar yang ditetapkan, (4)evaluasi ahir kegiatan belajar, digambarkan oleh pencapaian beberapa indikator belajar.
Sedangkan hasil perencanaan dan pengorgnisasi kurikulum telah dibahas tentang (1)Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), silabus, rencana pembelajaran dan adminisrasi guru (2) sarana pembelajaran siswa, yaitu modul pembelajaran siswa (software) media dan alat bahan pembelajaran siswa (hardware) (3)standar test. Untuk memberikan gambaran yang terintergrasi dalam kurikulumberbasis kompetensi dengan guru sebagai ujung tombaknya ditopang oleh Kepala sekolah sehingga guru mampu membuat silabus.
4.      Guru dan Pendidikan
Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa siswanya kepada tujuan yang hendak dicapai. Ada beberapa hal yang dapat membentuk kewibawaan guru antara lain adalah penguasaan materi yang diajarkan, metode mengajar yang sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, hubungan antar individu, baik dengan siswa maupun antar sesama guru dan unsur lain yang terlibat dalam proses pendidikan seperti adminstrator, misalnya kepala sekolah dan tata usaha serta masyarakat sekitarnya, pengalaman dan keterampilan guru itu sendiri.
Dengan demikian, maka dalam pembaharuan pendidikan, keterlibatan guru mulai dari perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peran yang sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Tanpa melibatkan mereka, maka sangat mungkin mereka akan menolak inovasi yang diperkenalkan kepada mereka. Hal ini seperti diuraikan sebelumnya, karena mereka menganggap inovasi yang tidak melibatkan mereka adalah bukan miliknya yang harus dilaksanakan, tetapi sebaliknya mereka menganggap akan mengganggu ketenangan dan kelancaran tugas mereka. Oleh karena itu, dalam suatu inovasi pendidikan, gurulah yang utama dan pertama terlibat karena guru mempunyai peran yang luas sebagai pendidik, sebagai orang tua, sebagai teman, sebagai dokter, sebagi motivator dan lain sebagainya.
Daoed Yoesoef (1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (sivic mission). Jika dikaitkan pembahasan tentang kebudayaan, maka tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika.
Tugas-tugas profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya diketahui oleh anak. Tugas manusiawi adalah tugas-tugas membantu anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusiawi itu adalah transformasi diri, identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri. Tugas kemasyarakatan merupakan konsekuensi guru sebagai warga negara yang baik, turut mengemban dan melaksanakan apa-apa yang telah digariskan oleh bangsa dan negara lewat UUD 1945 dan Pancasila.
Ketiga tugas guru itu harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis dan dinamis. Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi seorang guru harus mampu menjadi katalisator, motivator dan dinamisator pembangunan tempat di mana ia bertempat tinggal. Ketiga tugas ini jika dipandang dari segi anak didik maka guru harus memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang, pilihan nilai hidup dan praktek-praktek komunikasi. Pengetahuan yang kita berikan kepada anak didik harus mampu membuat anak didik itu pada akhimya mampu memilih nilai-nilai hidup yang semakin komplek dan harus mampu membuat anak didik berkomunikasi dengan sesamanya di dalam masyarakat, oleh karena anak didik ini tidak akan hidup mengasingkan diri. Kita mengetahui cara manusia berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya melalui bahasa tetapi dapat juga melalui gerak, berupa tari-tarian, melalui suara (lagu, nyanyian), dapat melalui warna dan garis-garis (lukisan-lukisan), melalui bentuk berupa ukiran, atau melalui simbul-simbul dan tanda tanda yang biasanya disebut rumus-rumus.
 Jadi nilai-nilai yang diteruskan oleh guru atau tenaga kependidikan dalam rangka melaksanakan tugasnya, tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan, apabila diutarakan sekaligus merupakan pengetahuan, pilihan hidup dan praktek komunikasi. Jadi walaupun pengutaraannya berbeda namanya, oleh karena dipandang dari sudut guru dan dan sudut siswa, namun yang diberikan itu adalah nilai yang sama, maka pendidikan tenaga kependidikan pada umumnya dan guru pada khususnya sebagai pembinaan prajabatan, bertitik berat sekaligus dan sama beratnya pada tiga hal, yaitu melatih mahasiswa, calon guru atau calon tenaga kependidikan untuk mampu menjadi guru atau tenaga kependidikan yang baik, khususnya dalam hal ini untuk mampu bagi yang bersangkutan untuk melaksanakan tugas profesional. 
Untuk menyiapkan guru yang juga manusia berbudaya ini tergantung 3 elemen pokok yaitu :
1.    Orang yang disiapkan menjadi guru ini melalui prajabatan (initial training) harus mampu menguasai satu atau beberapa disiplin ilmu yang akan diajarkannya di sekolah melalui jalur pendidikan, paling tidak pendidikan formal. Tidak mungkin seseorang dapat dianggap sebagai guru atau tenaga kependidikan yang baik di satu bidang pengetahuan kalau dia tidak menguasai pengetahuan itu dengan baik. Ini bukan berarti bahwa seseorang yang menguasai ilmu pengetahuan dengan baik dapat menjadi guru yang baik, oleh karena biar bagaimanapun mengajar adalah seni. Tetapi sebaliknya biar bagaimanapun mahirnya orang menguasai seni mengajar (art of teaching), selama ia tidak punya sesuatu yang akan diajarkannya tentu ia tidak akan pantas dianggap menjadi guru.
2.    Guru tidak hanya harus menguasai satu atau beberapa disiplin keilmuan yang harus dapat diajarkannya, ia harus juga mendapat pendidikan kebudayaan yang mendasar untuk aspek manusiawinya. Jadi di samping membiasakan mereka untuk mampu menguasai pengetahuan yang dalam, juga membantu mereka untuk dapat menguasai satu dasar kebudayaan yang kuat. Jadi bagi guru-guru juga perlu diberikan dasar pendidikan umum.
3.    Pendidikan terhadap guru atau tenaga kependidikan dalam dirinya seharusnya merupakan satu pengantar intelektual dan praktis kearah karir pendidikan yang dalam dirinya (secara ideal kita harus mampu melaksanakannya) meliputi pemagangan. Mengapa perlu pemagangan, karena mengajar seperti juga pekerjaan dokter adalah seni. Sehingga ada istilah yang populer di dalam masyarakat tentang dokter yang bertangan dingin dan dokter yang bertangan panas, padahal ilmu yang diberikan sama. Oleh karena mengajar dan pekerjaan dokter merupakan art (kiat), maka diperlukan pemagangan. Karena art tidak dapat diajarkan adalah teknik mengajar, teknik untuk kedokteran. Segala sesuatu yang kita anggap kiat, begitu dapat diajarkan diakalau menjadi teknik. Akan tetapi kalau kiat ini tidak dapat diajarkan bukan berarti tidak dapat dipelajari. Untuk ini orang harus aktif mempelajarinya dan mempelajari kiat ini harus melalui pemagangan dengan jalan memperhatikan orang itu berhasil dan mengapa orang lain tidak berhasil, mengapa yang satu lebih berhasil, mengapa yang lain kurang berhasil.
WF Connell (1972) membedakan tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga. 
Peran guru sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan dengan tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter), tugas-tugas pengawasan dan pembinaan (supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar anak itu menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat. Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang dewasa yang lain, moralitas tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan dan keterampilan dasar, persiapan.untuk perkawinan dan hidup berkeluarga, pemilihan jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal dan spiritual. Oleh karena itu tugas guru dapat disebut pendidik dan pemeliharaan anak. Guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak agar tingkat laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.
Peran guru sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.
Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru harus memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah seperti persiapan perkawinan dan kehidupan keluarga, hasil belajar yang berupa tingkah laku pribadi dan spiritual dan memilih pekerjaan di masyarakat, hasil belajar yang berkaitan dengan tanggurfg jawab sosial tingkah laku sosial anak. Kurikulum harus berisi hal-hal tersebut di atas sehingga anak memiliki pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh bangsa dan negaranya, mempunyai pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup dalam masyarakat dan pengetahuan untuk mengembangkan kemampuannya lebih lanjut.
Peran guru sebagai pelajar (leamer). Seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan agar supaya pengetahuan dan keterampilan yang dirnilikinya tidak ketinggalan jaman. Pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai tidak hanya terbatas pada pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan tugas profesional, tetapi juga tugas kemasyarakatan maupun tugas kemanusiaan.
Peran guru sebagai setiawan dalam lembaga pendidikan. Seorang guru diharapkan dapat membantu kawannya yang memerlukan bantuan dalam mengembangkan kemampuannya. Bantuan dapat secara langsung melalui pertemuan-pertemuan resmi maupun pertemuan insidental.
Peranan guru sebagai komunikator pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat berperan aktif dalam pembangunan di segala bidang yang sedang dilakukan. Ia dapat mengembangkan kemampuannya pada bidang-bidang dikuasainya.
Guru sebagai administrator. Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi juga sebagai administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu seorang guru dituntut bekerja secara administrasi teratur. Segala pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Sebab administrasi yang dikerjakan seperti membuat rencana mengajar, mencatat hasil belajar dan sebagainya merupakan dokumen yang berharga bahwa ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik.
5.      Ujian Nasional
Ujian Nasional merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggarakan pemerintah guna mengukur keberhasilan belajar siswa. Dalam beberapa tahun ini, kehadirannya menjadi perdebatan dan kontroversi di masyarakat. Di satu pihak ada yang setuju, karena dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya ujian nasional, sekolah dan guru akan dipacu untuk dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar para siswa dapat mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian yang sebaik-baiknya. Demikian juga siswa didorong untuk belajar secara sungguh-sungguh agar dia bisa lulus dengan hasil yang sebaik-baiknya.Sementara, di pihak lain juga tidak sedikit yang merasa tidak setuju karena menganggap bahwa Ujian Nasional sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif dan kontraproduktif dengan semangat reformasi pembelajaran yang sedang kita kembangkan. Sebagaimana dimaklumi, bahwa saat ini ada kecenderungan untuk menggeser paradigma model pembelajaran kita dari pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan kognitif ke arah pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan afektif dan psikomotor, melalui strategi dan pendekatan pembelajaran yang jauh lebih menyenangkan dan kontekstual, dengan berangkat dari teori belajar konstruktivisme.
Kita maklumi pula bahwa Ujian Nasional yang dikembangkan saat ini dilaksanakan melalui tes tertulis. Soal-soal yang dikembangkan cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif. Hal ini akan berdampak terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan di sekolah. Sangat mungkin, para guru akan terjebak lagi pada model-model pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif siswa, melalui gaya pembelajaran tekstual dan behavioristik.
Selain itu, Ujian Nasional sering dimanfaatkan untuk kepentingan diluar pendidikan, seperti kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan ekonomi bagi segelintir orang. Oleh karena itu, tidak heran dalam pelaksanaannya banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan, seperti kasus kebocoran soal, nyontek yang sistemik dan disengaja, merekayasa hasil pekerjaan siswa dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya.
Terlepas dari kontroversi yang ada bahwa sampai saat ini belum ada pola baku sistem ujian akhir untuk siswa. Perubahan sering terjadi seiring dengan pergantian pejabat. Hampir setiap pejabat ganti, kebijakan sistem juga ikut berganti rupa.
Periode 1950-1960-an
Ujian akhir disebut Ujian Penghabisan. Ujian Penghabisan diadakan secara nasional dan seluruh soal dibuat Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Seluruh soal dalam bentuk esai. Hasil ujian tidak diperiksa di sekolah tempat ujian, tetapi di pusat rayon.
Periode 1965-1971
Semua mata pelajaran diujikan dalam hajat yang disebut ujian negara. Bahan ujian dibuat oleh pemerintah pusat dan berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia. Pemerintah pusat pula yang menentukan waktu ujian.
Periode 1972-1979
Pemerintah memberi kebebasan setiap sekolah atau sekelompok sekolah menyelenggarakan ujian sendiri. Pembuatan soal dan proses penilaian dilakukan masing-masing sekolah atau kelompok. Pemerintah hanya menyusun pedoman dan panduan yang bersifat umum.
1980-2000
·            Mulai diselenggarakan ujian akhir nasional yang disebut Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Model ujian akhir ini menggunakan dua bentuk: Ebtanas untuk mata pelajaran pokok, sedangkan EBTA untuk mata pelajaran non-Ebtanas.
·            Ebtanas dikoordinasi pemerintah pusat dan EBTA dikoordinasi pemerintah provinsi.
·            Kelulusan ditentukan oleh kombinasi dua evaluasi tadi ditambah nilai ujian harian yang tertera di buku rapor.
2001-sekarang
·            Ebtanas diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan berubah menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN) sejak 2002.
·            Kelulusan dalam UAN 2002 ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual.
·            Dalam UAN 2003 siswa dinyatakan lulus jika memiliki nilai minimal 3,01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-ratanya minimal 6.
·            Dalam UAN 2004 kelulusan siswa didapat berdasarkan nilai minimal pada setiap mata pelajaran 4,01. Syarat nilai rata-rata minimal tidak diberlakukan lagi.
Pelaksanaan UN mendapat berbagai kecaman dari berbagai pihak, terutama dari komunitas pendidikan di Tanah Air. Apa UN relevan menjadi senjata peningkat mutu dan membentuk standardisasi pendidikan nasional? Kalangan pendidikan pun melah menganggap bahwa UN justru tidak sesuai dengan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan berbagai program pemerintah lainnya. Kalangan aktivis pendidikan dari Koalisi Pendidikan pun berpendapat serupa. "Penambahan mata pelajaran yang di-UN-kan semakin mencerminkan betapa pemerintah semakin besar kuasanya dalam menentukan kelulusan," ujarnya. Dia berpandangan, terjadi kekeliruan berpikir. Pemerintah berkeinginan keras untuk menerapkan UN dengan harapan dapat mengangkat kualitas pendidikan di Tanah Air. Peningkatan kualitas dianggap cukup lewat tes. Padahal, kualitas hanya dapat diperoleh lewat proses. Pemerintah justru harus melihat faktor-faktor penentu berjalannya proses dan sejauh mana itu sudah terpenuhi di sekolah.
Penerapan standard tunggal evaluasi hasil belajar dalam bentuk ujian nasional saat ini tampaknya masih sulit diterapkan di Indonesia. Sulitnya penerapan standar tunggal hasil belajar itu berkaitan erat dengan masih tingginya tingkat disparitas kualitas antarsekolah di Indonesia. ”Mengacu pada PP No 28/1990 tentang Pendidikan Dasar, penilaian pendidikan tidak hanya dilakukan dengan mengevaluasi hasil belajar, tetapi juga mencakup proses belajar-mengajar dan upaya pencapaian tujuan yang dilakukan. Kalau sekarang proses belajar-mengajarnya saja masih sangat berbeda satu sama lain kualitasnya, hasilnya tentu juga akan sangat berbeda.
Arena pendidikan dari wilayah yang berbeda (desa-kota, misalnya) pun menyebabkan perbedaan kualitas pendidikan.
Perbedaan sarana pendidikan di lain wilayah pun diungkapkan Ketua MPR-RI, Hidayat Nurwahid, menjadi salah satu sebab tidak tepat menjadikan ujian nasional standar kelulusan siswa. Menurutnya, hal tersebut menyebabkan dunia pendidikan menjadi pasif dan apatis. Sebab, banyak sekolah menginginkan siswanya lulus dan menempuh cara-cara curang untuk menggapainya. Tidak aneh pula, harapan mendulang anak-anak didik lulus pun dilakukan dengan berbagai cara. Termasuk dengan melakuan kecurangan.
6.      Akses dan Equity Pendidikan
Era global ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan industri, kompetisi dalam semua aspek kehidupan ekonomi, serta perubahan kebutuhan yang cepat didorong oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Untuk memenuhi perkembangan ilmu dan teknologi, diperlukan SDM yang berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia perlu ditingkatkan hingga ke pelosok negeri dan bagi masyarakat menengah ke bawah. Mereka yang paling memerlukan layanan pendidikan dalam mengantisipasi persaingan global di samping penyandang buta huruf adalah masyarakat miskin di tempat-tempat yang jauh dan tersebar. Guna mengatasi hal yang tidak mungkin diselenggarakan pendidikan konvensional atau tatap muka ini perlu ditempuh strategi yang memanfaatkan potensi dan kemajuan teknologi baru.
Untuk itu, agenda penting yang harus menjadi prioritas adalah peningkatan pemerataan pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk Indonesia (berdasarkan data Badan Pusat Statistik : 2007). Problem mereka, kemiskinan menjadi hambatan utama dalam mendapatkan akses pendidikan. Selain itu, daerah-daerah di luar Jawa yang masih tertinggal juga harus mendapat perhatian guna mencegah munculnya kecemburuan sosial. Pemerataan pendidikan masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia, dapat dibagi menjadi pemerataan pendidikan formal dan pemerataan pendidikan non formal.
a.         Pemerataan Pendidikan Formal
Pada jenjang pendidikan formal, secara umum perluasan akses dan peningkatan pemerataan pendidikan masih menjadi masalah utama, terutama bagi masyarakat miskin maupun masyarakat di daerah terpencil. Pemerataan pendidikan formal terdiri dari pemertaaan pendidikan di tingkat prasekolah, sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi.
Pendidikan prasekolah merupakan pendidikan pada anak usia dini, semisal : playgroup dan taman kanak-kanak. Pada daerah perkotaan pendidikan prasekolah secara formal sudah sering ditemukan, tetapi untuk daerah terpencil seperti di pedesaan, masih sangat jarang. Pendidikan sekolah dasar memang sudah cukup dirasakan pemerataannya di berbagai daerah, hal ini sejalan dengan program wajib belajar 9 tahun, tetapi mutu dari pendidikan tersebut masih sangat berbeda antara daerah perkotaan dengan pedesaan.
Pada pendidikan menengah, saat ini banyak bermunculan sekolah-sekolah unggul. Dalam pelaksanaannya model sekolah ini hanya diperuntukkan untuk kalangan borjuis, elit, dan berduit yang ingin mempertahankan eksistensinya sebagai kalangan atas. Kalaupun ada peserta didik yang masuk ke sekolah dengan sistem subsidi silang itu hanya akal-akalan saja dari pihak sekolah untuk menghindari “image” di masyarakat sebagai sekolah mahal dan berkualitas,  sekolah plus, sekolah unggulan, sekolah alam, sekolah terpadu, sekolah eksperimen (laboratorium), sekolah full day, dan label-label lain yang melekat pada sekolah yang diasumsikan dengan “unggul”.
Untuk pendidikan tinggi persoalannya menyangkut pemerataan kesempatan dalam memperoleh pendidikan tinggi bagi warga negara dalam kelompok usia 19-24 tahun. Biaya yang diperlukan untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi memang sangat besar, sehingga hanya anak-anak yang berasal dari keluarga mampu saja yang memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Kebutuhan biaya baik langsung maupun tak langsung yang cukup besar inilah yang menyebabkan rendahnya partisipasi pendidikan pada jenjang perguruan tinggi.
Selain itu, penyebaran geografis lembaga pendidikan tinggi unggulan di Indonesia juga tidak merata. Berbagai universitas terkemuka dipusatkan berada di pulau Jawa, sehingga masyarakat yang berada di pulau lain harus meninggalkan kampung halamannya demi melanjutkan pendidikan tinggi. Kritik kini mulai bermunculan atas pelaksanaan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) bagi beberapa universitas dan institut, seperti: UI, UGM, USU, UPI, ITB, dan IPB. BHMN dinilai telah mengarah ke komersialisasi pendidikan, yang bertentangan dengan misi utama sebuah lembaga pendidikan tinggi.
Untuk bisa kuliah di universitas dan institut terpandang itu, orangtua mahasiswa harus mengeluarkan uang puluhan juta rupiah. Ada beberapa argument yang menyebabkan muncul gerakan protes atas gejala komersialisasi pendidikan tinggi. Pertama, pendidikan tinggi yang selama ini bersifat elitis akan semakin bertambah elitis. Perguruan tinggi bertarif mahal akan makin mengentalkan watak elitisme dan kian mereduksi jiwa egalitarianisme. Gejala ini jelas bertentangan dengan prinsip pemerataan pendidikan seperti diamanatkan di dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.
Prinsip dasar pemerataan ini sangat penting guna memberikan kesempatan bagi semua golongan masyarakat, untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang baik. Kedua, ada alasan ideologis di balik gerakan protes itu. Selama ini, yang bisa menikmati pendidikan tinggi adalah orang-orang yang berasal dari keluarga kelas menengah. Bagi orang-orang yang berasal dari kelas bawah (keluarga miskin) mengalami kesulitan mendapatkan akses pendidikan tinggi dengan biaya yang mahal itu (Eka, R. 2007. Kondisi Pemerataan Pendidikan di Indonesia, (http://edu-articles.com, diakses 9 Maret 2009)).
b.    Pemerataan Pendidikan Nonformal
Di samping menghadapi permasalahan dalam meningkatkan akses dan pemerataan pendidikan di jalur formal, pembangunan pendidikan juga menghadapi permasalahan dalam peningkatan akses dan pemerataan pendidikan non formal. Pada jalur pendidikan non formal juga menghadapi permasalahan dalam hal perluasan dan pemerataan akses pendidikan bagi setiap warga masyarakat.
Sampai dengan tahun 2006, pendidikan non formal yang berfungsi baik sebagai transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja (transition from school to work) maupun sebagai bentuk pendidikan sepanjang hayat belum dapat diakses secara luas oleh masyarakat. Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat khususnya yang berusia dewasa untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya masih sangat rendah. Apalagi pendidikan non formal, pada umumnya membutuhkan biaya yang cukup mahal sehingga tidak dapat terangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.
Untuk meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan berbagai langkah akan diambil seperti peningkatan jumlah anak yang ikut merasakan pendidikan, akses terhadap pendidikan ini dihitung berdasarkan angka partisipasi mulai tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Umum. Selain itu pemerintah akan mengurangi tingkat disparitas atau ketidakmerataan akses baik spasial kota non kota dan yang bersifat gender. Dalam sektor pendidikan, kewajiban belajar tingkat dasar perlu diperluas dari 6 ke 9 tahun, yaitu dengan tambahan 3 tahun pendidikan setingkat SLTP seperti dimandatkan oleh Peraturan Pemerintah 2 Mei 1994.
Hal ini segaris dengan semangat “Pendidikan untuk Semua” yang dideklarasikan di konferensi Jomtien di Muangthai tahun 1990 dan Deklarasi Hak-Hak Azasi Manusia Sedunia Artikel 29 yang berbunyi: “Tujuan pendidikan yang benar bukanlah mempertahankan ‘sistem’ tetapi memperkaya kehidupan manusia dengan memberikan pendidikan lebih berkualitas, lebih efektif, lebih cepat dan dengan dukungan biaya negara yang menanggungnya”. Berbagai upaya telah dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia termasuk pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang diharapkan tuntas pada tahun 2008 yang dapat diukur antara lain dengan peningkatan angka partisipasi kasar jenjang pendidikan sekolah menengah pertama dan yang sederajat menjadi 95 persen. Namun demikian sampai dengan tahun 2006 belum seluruh rakyat dapat menyelesaikan jenjang pendidikan dasar.
Kemajuan teknologi menawarakan solusi untuk menyediakan akses pendidikan dan pemerataan pendidikan kepada masyarakat belajar yang tinggal di daerah terpencil. Pendidikan harus dapat memenuhi kebutuhan belajar orang-orang yang kurang beruntung ini secara ekonomi ketimbang menyediakan akses yang tak terjangkau oleh daya beli mereka. Televisi saat ini digunakan sebagai sarana pemerataan pendidikan di Indonesia karena fungsinya yang dapat menginformasikan suatu pesan dari satu daerah ke daerah lain dalam waktu yang bersamaan.
Ini dalam rangka peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan prinsip teknologi pendidikan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan Menteri Pendidikan Nasional.
7.    Keadaan sekolah
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kemendiknas tahun 2009 mengenai kondisi sekolah di Indonesia, masih banyak keprihatinan yang harus diperhatikan oleh segenap bangsa dan tanah air. Hanya bergantung pada peran pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur pendidikan di Indonesia tidak akan cukup untuk mencapai tingkat pendidikan maksimum. Pada tahun 2009, terdapat 114,228 sekolah dasar, 28,777 sekolah menengah pertama dan hanya 18,354 sekolah menengah di Indonesia. Hal ini mencerminkan kondisi terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia. Walaupun jumlahnya telah meningkat di tahun 2011, namun kemungkinan peningkatan sarana dan prasarana untuk tingkat sekolah menengah sangat kecil, karena fokus pemerintah dan masyarakat pada umumnya saat ini masih pada tingkat sekolah dasar.(Kemendiknas, 2009)
Tidak hanya itu, hampir seluruh Sekolah Dasar di Indonesia tidak menyediakan perpustakaan, terlebih lagi ruang komputer dan laboratorium. Hanya 35.16% SMP yang memiliki fasilitas perpustakan dan 21.27% SMP yang memiliki fasilitas komputer. Sedangkan, 64.40% SM sudah dapat menikmati fasilitas perpustakaan dan 27.42% SM yang dapat memiliki fasilitas ruang komputer. Pada jenjang pendidikan SMP, fasilitas yang tersedia yaitu laboratorium IPA (31.82%), Biologi (3.07%), Kimia (4.57%), Fisika (1.96%), Bahasa (8.38%) dan IPS (2.22%). Sedangkan, tingkatan SM sudah memiliki fasilitas laboratorium yang relatif memadai walaupun jumlahnya belum sepadan, yakni Lab IPA (27.47%), Lab Biologi (13.99%), Lab Kimia (19.69%), Lab Fisika (13.60%), Lab Bahasa (21.70%), Lab Multimedia (7.48%), Lab Komputer (65.77%) dan Lab IPS (3.96%). (Kemendiknas, 2009)
Permasalahannya ada pada ketersediaan dana. Jika bahkan untuk ruang kelas saja masih tidak memadai, tentunya akan sangat sulit untuk mengadakan fasilitas lainnya. Pada tahun 2009, kondisi ruang kelas terburuk dialami oleh tingkatan pendidikan sekolah dasar dimana 44.84% ruang kelasnya dalam kondisi rusak, 20.14% ruang kelas SMP dan 11.13% ruang kelas SMA dalam kondisi rusak, baik rusak ringan maupun rusak berat.
Sekolah sebagai tempat bermain dan bersosialisasi dengan teman sebaya atau dengan guru atau dengan karyawan yang ada dalam sekolah tersebut berusaha memberikan layanan terbaiknya agar anak dapat berinteraksi dengan baik dan dia(anak) tidak merasa tertekan atau tidak senang dengan berada dalam sekolah.
Namun pada kenyataannya sekarang sarana pendidikan atau sekolah khususnya belum menampakkan fungsinya yang baik. Masih banyak kekurangan yang ada pada sekolah-sekolah di Indonesia umumnya dan pada daerah-daerah pelosok khususnya. Alasan yang pokok adalah kurang terjangkaunya daerah tersebut oleh peralatan-peralatan yang modern. Selain itu fasilitas yang ada pada sekolah-sekolah boleh dikatakan sangat kurang dan jauh dari cukup. Terkebih pada daerah pinggiran kota yang kurang mendapat perhatian khusus dari pemerintah.
8.    Kekerasan di Sekolah
Kekerasan di dunia pendidikan kembali terjadi. Beberapa kali kasus selalu terjadi, baik sekolah kota maupun disekolah yang ada di desa.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah kembali terjadi karena belum ada tindakan tegas dari pemerintah terhadap pelaku kekerasan di sekolah. "Guru yang melakukan kekerasan, setahu saya belum ada yang sampai dipecat karena Menteri menganggap ini hal biasa untuk mendisiplinkan anak. Padahal itu salah," katanya saat berbincang dengan okezone, Rabu (28/9/2011). Dampaknya, psikologis anak akan menjadi tertekan. "Itu salah satu proses radikalisme terjadi. Kalau sekolah sudah mengajarkan kekerasan itu bagian dari menumbuhkan sikap radikal," ujarnya.
Padahal Undang-Udang perlindungan anak tahun 2002 pasal 59 jelas menyebutkan sekolah wajib menjadi zona anti kekerasan.
guru yang melakukan kekerasan terhadap anak tidak memenuhi syarat psikologis untuk menjadi tenaga pengajar.
9.    Mutu Pendidikan
Lebih dari tiga dekade Indonesia telah meningkatkan angka partisipasi sekolah dengan baik. Pada tahun 2002, angka partisipasi kasar untuk sekolah dasar melebihi 100 persen, meningkat dari 80 persen di tahun 1970, dan angka partisipasi murni sekolah dasar saat ini mencapai 93 persen. Partisipasi sekolah pada jenjang sekolah menengah pertama juga menunjukkan peningkatan yang mengesankan. Angka partisipasi murni meningkat dari hanya 18 persen pada tahun 1970 menjadi 80 persen pada tahun 2002. In­donesia juga telah cukup berhasil dalam mengurangi ketimpangan angka partisipasi antara laki-laki dengan perempuan. Angka partisipasi, terutama pada jenjang pendidikan dasar, dapat disejajarkan dengan negara-negara di Asia timur lain yang mempunyai tingkat pendapatan perkapita yang lebih tinggi (gambar 1). Meski demikian, Indonesia harus memberikan perhatian khusus akan dampak buruk krisis keuangan pada akhir periode 1990-an yang telah merusak catatan pendidikan yang mengesankan ini. Angka partisipasi sempat menurun ketika krisis, namun segera meningkat karena disebabkan salah satunya oleh pengenalan program beasiswa dan dana untuk sekolah yang dimaksudkan untuk menjamin setiap anak bisa bersekolah.


_Pic3





Disamping berbagai kesuk­sesan tersebut, masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.
1.         Tidak semua anak bersekolah. Indone­sia masih belum mampu memenuhi program wajib belajar 9 tahun bagi semua anak. Saat ini masih terdapat sekitar 20 persen anak usia sekolah menengah pertama yang masih belum bersekolah.
Perbedaan partisipasi antar daerah yang cukup besar. Pada tahun 2002, sebagai contoh, angka partisipasi murni pada jenjang sekolah dasar berkisar antara 83,5 persen di propinsi Gorontalo dan 94,4 persen di Sumatera Utara. Pada jenjang sekolah menengah pertama, angka partisipasi murni berkisar antara 40,9 persen di Nusa Tenggara Timur dan 77,2 persen di Jakarta dan pada jenjang sekolah menengah atas berkisar antara 24,5 persen di Nusa Tenggara Timur dan 58,4 persen di Yogyakarta.
2.         Anak dari kelompok miskin keluar dari sekolah lebih dini. Pada tahun 2002 angka partisipasi sekolah menengah pertama dari kelompok penduduk seperlima terkaya, lebih tinggi 69 persen dibandingkan dengan angka partisipasi dari kelompok seperlima termiskin. Sementara pada jenjang sekolah menengah atas, angka partisipasi murni dari kelompok seperlima terkaya mencapai tiga setengah kali lebih tinggi dibandingkan dengan angka partisipasi murni kelompok termiskin. Walaupun hampir semua anak dari berbagai kelompok pendapatan bersekolah di kelas satu sekolah dasar, anak dari kelompok pendapatan termiskin cenderung menurun partisipasinya setelah mencapai kelas enam.
3.         Kualitas sekolah di Indonesia masih rendah dan cenderung memburuk. Selama ini ekspansi sekolah tidak menghasilkan lulusan dengan pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk membangun masyarakat yang kokoh dan ekonomi yang kompetitif di masa depan. Bukti ini ditunjukkan dengan rendahnya kemampuan murid tingkat 8 (SMP kelas 2) dibandingkan dengan negara tetangga Asia pada ujian-ujian internasional di tahun 2001 (lihat tabel 1). Telihat cukup jelas bahwa ekspansi partisipasi sekolah di Indonesia tidak diikuti dengan peningkatan kualitas.
_Pic19
4.         Persiapan dan kehadiran  tenaga  pengajar yang masih kurang. Berbeda dengan kebanyakan negara, Indonesia memperbolehkan semua lulusan institusi pendidikan keguruan menjadi tenaga pengajar, tanpa perlu melewati ujian dalam hal kesiapan untuk memberikan ilmu pengetahuan dan keahlian mereka pada kondisi sekolah yang beragam. Pada waktu yang sama terdapat kesulitan untuk memberhentikan tenaga pengajar yang tidak mampu mengajar. Lebih jauh, berdasarkan survei yang dilakukan untuk Laporan Pembangunan Dunia 2004, 20 persen tenaga pengajar Indonesia tidak masuk sekolah pada saat pengecekan di sekolah-sekolah yang terpilih secara random. Ini berarti 20 persen dari dana yang digunakan untuk membiayai tenaga pengajar tidak memberikan manfaat secara langsung kepada murid, karena ternyata tenaga pengajar tersebut tidak berada di kelas.
5.         Pemeliharaan sekolah-sekolah tidak dilakukan secara berkala. Berdasarkan data survei sekolah dari Departemen Pendidikan Nasional, satu dari enam sekolah di Jawa Tengah berada dalam kondisi yang buruk, sementara itu sedikitnya satu dari dua sekolah di Nusa Tenggara Timur juga berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Murid-murid berada di ruang kelas tanpa peralatan belajar yang memadai, seperti buku pelajaran, papan tulis, alat tulis, dan tenaga pengajar yang menguasai materi pelajaran sesuai kurikulum.
Kondisi pendidikan yang memprihatinkan ini tidak hanya dibiarkan begitu saja oleh kaum cendikiawan Indonesia. Salah satu cendikiawan Indonesia yang memiliki keseriusan mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan adalah Ki Hadjar Dewantara. Beliau telah berjasa besar untuk Negara ini di bidang pendidikan, sehingga melalui Kepres No. 916 tanggal 16 Desember 1959, tanggal 2 Mei ditetapkan  sebagai hari pendidikan nasional. Ajaran beliau yang terkenal adalah tut wurihandayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangunkarsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), dan ingngarsa sungtulada (di depan memberi teladan), melandasi berdirinya Taman Siswa yang didirikan di Yogyakarta.
Dalam masa kekhalifahan, Pendidikan pun dijadikan urusan utama dalam Negara, misalnya pada masa Kekhalifahan Umar bin al-Khaththab. Pada masa beliau, gaji yang diberikan kepada para pengajar al-Quran masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas. Jika 1 gram emasRp 100.000,00, 1 dinar berartisetaradenganRp 425.000,00. Artinya, gaji seorang guru ngaji adalah 15 (dinar) X Rp 425.000,00 = Rp 6.375.000,00. Para khalifah juga sangat peduli terhadap dunia perbukuan. Pada abad ke-10, misalnya, di Andalusia saja, terdapat 20 perpustakaan umum. Perpustakaan Cordova, misalnya, memiliki tidak kurang dari 400 ribu judul buku. Ini termasuk jumlah yang luar biasa untuk ukuran zaman itu. Padahal empat abad setelahnya, dalam catatan Chatolique Encyclopedia, Perpustakaan Gereja Canterbury saja yang terbilang paling lengkap pada abad ke-14 miliki 1800 (1,8 ribu) judul buku. Perpustakaan Darul Hikmah di Kairo juga mengoleksi tidak kurang 2 juta judul buku.
10.     Teknologi Pendidikan
Di dunia pendidikan pembahasan mengenai pentingnya teknologi (teknologi pendidikan) dalam Kegiatan Belajar / Mengajar (KBM) muncul hampir setiap hari. Mengapa begitu? Karena pendidikan termasuk industri yang paling besar di dunia. Jadi untuk manufakturer atau distributor produk atau jasa teknologi, pendidikan adalah pasaran yang sangat menarik.
Seharusnya ini tidak sebagai masalah kalau produk-produk dievaluasikan dan diuji coba di dunia pendidikan oleh Ilmuwan Teknologi Pendidikan sebelum pembahasanya masuk ke sekolah-sekolah, kampus, atau lembaga pendidikan.
Ilmuwan Teknologi Pendidikan harus menimbang keadaan di lapangan. Apakah keadaan di lapangan (infrastruktur) sudah siap untuk menggunakan teknologi ini? Apakah bahan untuk menggunakan teknologi ini sudah siap dan dapat diakses oleh semua praktisi pendidikan di lapangan? Bahan harus duluan sebelum teknologinya! Apakah alokasi anggaran ke teknologi ini tidak akan merugikan banyak pengajar di lapangan yang mempunyai kebutuhan teknologi yang sederhana untuk melaksanakan pendidikan yang bermutu? Apa dampaknya di lapangan di dunia pendidikan? Misalnya kalau ada Menteri Teknologi atau Pendidikan yang mengumumkan bahwa teknologi baru (tertentu) adalah solusi untuk meningkatkan mutu pendidikan, bagaimana perasaan guru-guru di lapangan yang mimpinya masih adalah mempunyai sambungan listrik ke sekolahnya, atau ruang kelas yang tidak bocor, atau papan tulis yang dapat digunakan? Mereka tidak dapat membayangkan bahwa mereka dapat menggunakan teknologi ini? Apakah dampaknya positif? Apakah pengumuman begini akan meningkatkan semangat guru-guru untuk mengajar sebaik mungkin dalam keadaannya? Apakah sebelum ada teknologi yang canggih kita tidak dapat melaksanakan pendidikan yang bermutu? Apakah kita perlu teknologi pendidikan untuk mencapaikan proses belajar/mengajar yang bermutu?
Setiap kali mengajar, tanya diri sendiri (dan guru-guru lain yang berpengalaman) Apakah saya perlu menggunakan teknologi pendidikan untuk mengajar topik ini? Kalau ya, teknologi apa yang paling cocok? Biasanya teknologi atau peraganya adalah sangat sederhana (kalau betul berbasis-kebutuhan).

11.     Dana Pendidikan
Muhammad Nuh sebagai menteri pendidikan nasional mengajukan tambahan dana untuk anggaran pendidikan sebesar Rp 11,762 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2011. Rencananya tambahan dana ini diajukan untuk menambah anggaran beasiswa dan juga pendidikan di daerah timur Indonesia.Di satu sisi, hal ini patut diapresiasi mengingat dana pendidikan di Indonesia akan ditambah. Tentu saja, jika penyamapaiannya tepat, dana ini akan sangat membantu mereka yang tidak memiliki akses terhadap pendidikan. Namun di sisi lain, hal ini akan menimbulkan pertanyaan lebih jauh: akankah dana pendidikan ini tepat sasaran seperti yang diharapkan?. Bahwa dengan anggaran pendidikan sekarang yang dipatok sebesar 20% dari APBN, masih saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Padahal, pemerintah mematok adanya program wajib belajar sembilan tahun. Dan kejadian-kejadian di atas terjadi pada daerah pendidikan dasar tersebut. Oleh karena itu, wajar jika masyarakat akan menilai tambahan dana yang sekalipun akan dikucurkan tersebut tidak akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat kecil terkait akses pendidikan. Realitas yang ada sekarang ini menyatakan hal sebaliknya. Malahan, yang akan timbul adalah ketakutan akan penyelewengan dana tersebut.
Menambahkan dana pendidikan itu memang perlu namun, untuk apa penambahan tersebut dilakukan jika harus mengalami kebocoran dimana-mana? Analoginya seperti menambahkan debit air bersih. Jika debit ditambahkan namun kebocoran pada pipa tetap terjadi, akhirnya penambahan itu akan sia-sia juga sebab yang membuat debit itu berkurang sampai di pelanggan bukan hanya masalah besar atau kecilnya debit awal melainkan kebocorannya. Oleh karena itu, yang seharusnya dilakukan sebelum penambahan dana adalah dengan menanggulangi kebocoran itu terlebih dahulu. Dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang dialirkan ke daerah-daerah sudah sepatutnya diawasi pemakaiannya oleh pemerintah daerah. Jangan sampai dana tersebut sampai pada tangan-tangan yang tidak berhak mendapatkannya. Jika dana BOS ini sudah terealisasi dengan baik, maka seharusnya masalah uang kursi dan seragam sekolah tidak lagi harus dipermasalahkan.
Jika perlu, lembaga auditor independen bisa dibentuk untuk mengecek aliran dana. Lembaga ini bisa terdiri dari perwakilan orang tua murid dibantu beberapa pihak pakar pendidikandan juga auditor. Tentu saja untuk masalah ini, harus juga dibantu dengan transparansi pemerintah daerah untuk mau menunjukkan aliran dana pendidikannya. Lebih jauh lagi, aliran dana pendidikan ini juga harus jatuh kepada orang-orang yang membutuhkan tidak sebatas pada sekolah-sekolah. Artinya, harus ada jaminan bahwa orang-orang yang tidak mampu akan mendapatkan akses pendidikan. Oleh karena itu, dalam hal ini sekolah memiliki kewajiban untuk merangkul orang-orang tidak mampu untuk bersekolah karena sudah mendapatkan dana BOS tersebut.  Penambahan dana memang baik di satu sisi. Namun jika hal ini tidak diimbangi dengan menambal kebocoran dana pendidikan itu sendiri, semuanya akan menjadi sia-sia. Semoga ada itikad baik untuk melakukan keduanya sehingga akses menuju pendidikan sembilan tahun dapat tercapai bagi semua anak Indonesia.
12.     Reformasi Pendidikan
Pendidikan adalah kata kunci untuk meningkatkan kesejahteraan dan martabat bangsa. Tak salah jika kita sebut pendidikan sebagai pilar pokok dalam pembangunan bangsa. Tinggi-rendah derajat suatu bangsa bisa dilihat dari mutu pendidikan yang diterapkannya.Pendidikan yang tepat dan efektif akan melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, bermoral, memiliki etos kerja dan inovasi yang tinggi. Negara-negara yang telah berhasil mencapai kemajuan dan menguasai teknologi-peradaban mengawali kesuksesannya dengan memberi perhatian yang besar terhadap sektor pendidikan nasionalnya. Sektor pendidikan mendapat dukungan penuh dan secara terus menerus sistemnya diperbaiki agar sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan daya akses seluruh lapis masyarakat mereka.
Harus kita akui, pelaksanaan pendidikan di Indoensia masih jauh dari yang diharapankan. Begitu juga dengan mutu yang dihasilkannya. Padahal, amanat Undang-Undang Dasar 1945 mematok tujuan pendidikan nasional begitu tinggi: bisa mencerdaskan bangsa Indonesia. Cerdas dalam artian mayoritas rakyat Indonesia memiliki budaya belajar dan mengajar dalam aktivitas kesehariannya.
Upaya memperbaiki Pendidikan Nasional tidak hanya menyangkut masalah fisik dan dana saja. Tapi, harus lebih mendasar dan strategis. Sistem Pendidikan Nasional perlu direformasi dengan memadukan wahyu Tuhan dan ilmu pengetahuan sebagai arena utama aktivitas pendidikan. Sekolah bukan hanya menjadi tempat pembekalan pengetahuan kepada anak bangsa, tapi juga lembaga penanaman nilai dan pembentuk sikap dan karakter. Anak-anak bangsa dikembangkan bakatnya, dilatih kemampuan dan keterampilannya. Sekolah tempat menumbuhkembangkan potensi akal, jasmani, dan rohani secara maksimal, seimbang, dan sesuai tuntutan zaman. Output keseluruhan proses pendidikan adalah menyiapkan peserta didik untuk bisa merealisasikan fungsi penciptaannya sebagai hamba Tuhan dan kemampuan mengemban amanah mengelola bumi untuk dihuni secara aman, nyaman, damai, dan sejahtera.
Pelaksanaan proses pendidikan harus efektif untuk menanamkan jiwa kebebasan, kemandirian, dan kewirausahaan. Dengan begitu anak-anak bangsa yang menjadi peserta didik bisa eksis dalam persaingan di masa datang berbekal keterampilan hidup (life skill) dan daya juang (adversity quotient) yang mumpuni. Kurikulum diarahkan untuk memberi pengalaman belajar yang seimbang yang meliputi aspek intektual (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ). Dan titik tekannya adalah membentuk karakter pembelajar agar anak bangsa yang menjadi peserta didik memiliki keinginan untuk belajar di sepanjang hayatnya. Tipe bangsa pembelajarlah yang bisa survive menghadapi persaingan global yang rivalitasnya bukan lagi di tataran negara vs negara atau kota vs kota. Tetapi, sudah di level individu vs individu.
Karena itu, menjadi hajat kita bersama untuk memperjuangkan perbaikan dan pembangunan dunia pendidikan di negeri ini. Apa saja agenda strategis yang harus segera kita lakukan?. Pertama, melakukan pembangunan Sistem Pendidikan Nasional yang konprehensif, integratif, dan aplikatif. Makna konprehensif adalah menjamin perbaikan yang berkelanjutan, integratif tak memisahkan aspek moral dan nilai-nilai luhur dari pembelajaran dan pengajaran, dan aplikatif menunjuk pada mutu dan meningkatnya daya saing bangsa. Kedua, meningkatkan wajib belajar dari Sembilan tahun menjadi dua belas tahun.
Ketiga, meningkatkan kopetensi, kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan terhadap profesi guru tanpa membeda-bedakan status kepegawaian, PNS atau swasta. Keempat, mengawal realisasi anggaran pendidikan yang besarnya 20% dari total APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sebagaimana amanah Pasal 31 ayat 4 Amandemen IV UUD 1945.
Kelima, melakukan monitoring dan evaluasi sistematis terhadap berbagai aspek konsep dan operasional Sistem Pendidikan Nasional di semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan. Kenam, memastikan terlaksananya proses pendidikan yang menanamkan jiwa kebebasan, kemandirian, kewirausahaan, dan meningkatkan keterampilan hidup dan daya juang kepada anak-anak bangsa yang menjadi peserta didik.
Ketujuh, menerapkan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dan meningkatkan partisipasi masyarakat baik dalam penyelenggaraan pendidikan formal, nonformal, dan informal. Kedelapan, meningkatkan kualitas pengelolaan manajemen sekolah dan metode pembelajaran serta menjadikan sekolah tidak lagi sebagai menara gading yang steril dari analisis kebutuhan lingkungan sekitarnya. Sekolah bukan hanya tempat penyelenggaraan pendidikan, tapi juga bisa menjadi pusat latihan, seminar, workshop, dan studi banding. Sekolah adalah pusat belajar masyarakat di wilayahnya berada.
Kesembilan, terselenggaranya pendidikan yang murah, bermutu, dan berwawasan global yang memiliki daya saing nasional di percaturan global. Kesepuluh, memberi perhatian serius pada pendidikan khusus bagi anak bangsa yang disebabkan oleh cacat atau kecerdasan luar biasa peserta didik.
Kesebelas, menjadikan sekolah sebagai tempat kaderisasi kepemimpinan nasional dan memasukkan program wajib militer untuk menumbuhkan rasa nasionalisme. Keduabelas, menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap pendidikan. Kesadaran masyarakat untuk ambil bagian dalam pendidikan adalah bentuk dari ketahanan sosial atas perubahan tantangan lingkungan yang terjadi. Pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tua secara individu per individu, tetapi itu tanggung jawab komunitas secara bersama. Ketigabelas, memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan mutu pendidikan.
F.   SOLUSI
Untuk menyelesaikan problem – problem pendidikan diatas antara lain dengan melakukan transpransi pengelolaan pendidikan dan pemerataan akses pendidikan.
G. REKOMENDASI
1.    Kepada pemerintah; agar pemerintah mengeluarkan kebijakan – kebijakan yang mendukung pelaksanaan pendidikan yang transparan dan meringankan bagi masyarakat.
2.    Kepada penyelenggara pendidikan; agar melaksanakan program pendidikan yang tranparans.








DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra, 1999. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium baru, Jakarta: Logo Macam ilmu.
Bacharch Samuel, 1990. Education reform making sense of it all, Massachusetts Ally dan Bacon.Inc
Djohar, 2003. Pendidikan Strategik Alternative untuk Pendidikan Masa Depan Yogyakarta: LESFI.
Heryanto, 2000. Industri alisasi Pendidikan: Berkah Tantangan atau Bencana bagi Indonesia, Yogyakarta: Kanisus.
Hujair Ali, 1988. Makalah Seminar, Reformasi Pendidikan Suatu Keharusan Untuk Memasuki Mileniun III. Yogyakarta: MAP Univeristas Gadjah Mada.
Maskun dan Ruhendi, 2004. Paradigma Pendidikan Iniversal di Era Moder dan Post-Moderen: Mencari visi Baru atas Realitas Baru pendidikan kita Yoyakarta: IRCisoD
Rich John Martin, 1988. Innovation in Education Reformers and Their Critis, Massachusetts Ally dan Bacon, Inc.
Sihombing dan Indiardjo, 2003. Biaya Pendidikan, Jakarta Balitbang Pendidikan Nasional.
Soewartoyo, 2003, Persepsi Masyarakat terhadap Desentarlisasi Pendidikan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Tilaar H.A.R, 1999. Beberapa agenda reformasi pendidikan nasional dalam perspektif abad XXI, Magelang: Indonesia.
T. Sulistyono, Drs. M.Pd.,MM. 2003. Wawasan Pendidikan. Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.
Zainudin, 2008. Reformasi pendidikan, kritik kurikulum dan manajemen berbasis sekolah, Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Komentar

Postingan Populer